Serangga: Refleksi Diri “Ingin Menjadi, Apa Daya” Sebuah Perlawanan yang Berguna?

Apa yang terlintas di pikiran saat baca atau dengar kata “serangga”? Makhluk hidup kecil berbagai bentuk yang entah apa alasannya Tuhan Yang Maha Esa menciptakan mereka di tengah-tengah makhluk hidup hidup lain sebagai hewan atau manusia. Hewan atau manusia yang bentuk dan ukurannya jauh lebih besar, sangat mungkin membahayakan para serangga. Nyatanya, justru seranggalah kerap menjadi ancaman: serangan nyamuk pembawa penyakit demam berdarah menyebabkan kematian manusia 390 juta setiap tahunnya yang ditemukan pada lebih dari 100 negara, serangan serangga tomcat yang dapat menyebabkan iritasi kulit parah, demam dan muntah, kemudian muncul virus dengan bentuk dan ukuran lebih kecil, mampu mengguncangkan dunia dengan jutaan kematian manusia hanya dalam jangka waktu dua tahun. Jika kita mencari jawaban mengapa makhluk-makhluk kecil ini diciptakan? Tentu agama punya jawabannya. Secara keilmuan science, penciptaan makhluk hidup itu selain menjadi bagian dari rantai makanan, ada juga fungsi-fungsi lain yang bermanfaat untuk kehidupan bukan cuma hidup hewan dan manusia, tapi juga tumbuhan dan seluruh alam semesta. Misalnya, kumbang tanah yang memakan siput, ulat, belatung, dan hama lainnya yang ada di tanaman; kumbang prajurit yang membantu penyerbukan tanaman.

Sumber Gambar: detik

Saat menyadari betapa kecilnya “peran diri” dalam dunia yang luas namun fana ini, sekaligus bersyukur, sekecil apapun peran itu, tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup lainnya secara positif. Setidaknya agar sebuah sistem tetap berjalan dengan baik dan semestinya. Entah siapa yang sedang memainkan ideologi yang tak lagi steril pada tataran praktek. Jelang Pemilu 2024, mereka yang berkepentingan, mulai memainkan isu-isu di tengah masyarakat agar dukungan pada kekuasaan mereka tetap berada di tempatnya atau supaya beralih pada tangan oposisi. Sekalipun kekuasaan dalam masyarakat kini sejatinya bukan warna hitam putih, namun beragam warna  seiring dengan toleransi pada kedaulatan orang per orang dalam menentukan hidup mereka sendiri. Tahun 2023 memang semestinya bukan lagi sistem yang langgeng diantara tahun 1900- 1915 saat sistem patron klien berlaku. Saat simbol kekuasaan diwakili oleh simbol-simbol budaya oleh Raja Pakubuwana X (PB X) walau secara sosial ekonomi, ruang geraknya dibatasi karena keberadaan Residen Belanda di Surakarta pada waktu itu (Kuntowijoyo. 2004). Namun, kekuasaan PB X pada tahun 1900- 1915 agak mirip dengan yang terjadi saat ini. Barangkali, secara sosial politik ekonomi, masyarakat Indonesia belum dapat lepas sepenuhnya dari sistem yang diciptakan Belanda.  Banyak studi yang membahas bahwa keputusan Belanda mendudukkan Tionghoa sebagai warga kelas dua (Timur Asing Bersama Arab dan India), lebih tinggi dari pribumi (kelas tiga), melahirkan benteng sosial yang merugikan sampai sekarang (Ibrahim. 2023).

Maka, label pemalas yang disematkan pada bangsa Indonesia sebagai alasan Indonesia tidak maju-maju, tidak sepenuhnya benar. Sebab serajin apapun seseorang berbangsa Indonesia, selama ia masih berada dalam sistem yang mendudukkannya sebagai warga kelas tiga, maka ia sebagai pribadi sulit maju. Kalaupun maju, maju mundur. Ia sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetap akan dikenal sebagai babu atau kuli. Sungguh menyakitkan. Padahal banyak orang Indonesia yang mampu bangkit dari stigma masa lalu berkat kerja keras dan pendidikan yang kemudian selevel dengan bangsa-bangsa lain yang disebut sebagai warga kelas satu (Bangsa Eropa) dan warga kelas dua (Timur Asing: Cina, Arab dan India). Namun secara kuantitas, masih belum cukup mendongkrak Indonesia menjadi bangsa maju. Hal “remeh temeh” lain yang biasa dialami oleh orang Indonesia yang sering bepergian ke luar negeri, adanya perbedaan perlakuan petugas imigrasi negara yang didatangi bila memakai paspor Indonesia dengan bila memakai paspor negara-negara lain. Hal ini dialami perbedaannya oleh mereka yang berkewarganegaraan ganda. Maka mereka yang paham, so pasti lebih memilih punya paspor negara-negara Eropa, Amerika atau Australia saat travelling daripada menggunakan paspor Indonesia (hasil interview dari sumber terpercaya).

Pelaku diskriminatif itu sepertinya tak update dengan situasi terkini yang terjadi di Indonesia, terutama perkotaan yang mulai individualistis, rasa bersaing tinggi, kaya setara dengan bangsa-bangsa lainnya. Cenderung homogen di beberapa domisili, seperti orang Cina kaya yang berkumpul dengan sesamanya di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Orang Indonesia masih ada juga yang berlapis walau tak terlalu kentara seperti di Jawa tahun 1900- 1915. Saat priyayi juga mengambil jarak dengan kawula, karena kawula adalah wong cilik yang tidak paham simbol-simbol kehalusan priyayi. Priyayi jenis inilah yang bercita-cita untuk mati mulia sebagai abdi dalem raja. Adapun priyayi jenis lain, yaitu priyayi yang menghendaki kemajuan, bangsawan pikiran, rupanya kalah populer dibanding priyayi abdi dalem. Struktur politik pada gilirannya membuahkan struktur sosial di mana raja berada di puncak, disusul sentana dalem (keluarga raja), kemudian abdi dalem priyayi  dan barulah yang berada di bawah sekali wong cilik. Hal ini berkaitan dengan bahasa, pakaian yang digunakan dan berapa kali sembah yang simbolik yang aktual.

Sembah simbolik yang ditiadakan sama sekali kini, sementara soal pakaian dan bahasa atau simbol-simbol budaya lainnya masih berlaku. Entah disadari atau tidak. Maka, saya selaku penulis bebas lepas (independen) harus semakin berhati-hati memuat sebuah esai dalam website www.suaraperempuan.or.id jelang tahun 2024 ini. Salah paham dapat mengakibatkan hubungan keluarga, teman, saudara dan tetangga renggang gegara beda pilihan politik. Sebab ideologi walau tak mengenyangkan perut, ia seperti sebungkus ­snack kriuk yang ingredients-nya tak semua kita tahu. Namun secara rasa kita dapat membayangkan seperti apa. Isu ideologi yang dibuka keran diskusi paling ramai biasanya soal ideologi Pancasila sebagai dasar negara yang sebenarnya tak bertentangan dengan ideologi agama manapun. Malah kalau dicermati butir-butir yang terkandung didalamnya (ibarat ingredients snack), itu dapat diterima oleh semua penganut agama maupun penganut kepercayaan apapun yang meghendaki kehidupan bermasyarakat yang damai, tentram, sejahtera, aman dan nyaman. Sebab siapapun warganya berhak memiliki ruang hidup. Sekalipun ruang itu hanya sebesar lubang semut. Layaknya website www.suaraperempuan.or.id di tengah gempuran badai isu yang dihembuskan oleh entah siapa yang bisa-bisanya mengganggu stabilitas keamanan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.  Kami hadir untuk mengklarifikasi isu secara keilmuan melalui riset pustaka, koran dan interview sumber-sumber terpercaya. (rkk)

Sumber Rujukan:

Ibrahim, Linda. 2023. “Kue Lapis Sincia”. Kompas: 15 Januari 2023.

Kuntowijoyo. Raja, Priyayi dan Kawula. 2004. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *