Ketika Cinta Terlambat Datang Pada Si TUAA (Teknologi, Uang, Anak-anak dan Agama)

Cinta…apa itu cinta? Awalnya suka lalu rindu? Aiiih…lalu tak ingin lepas lagi, kalau bisa selamanya. Banyak kisah tentang cinta, cinta diri sendiri, cinta keluarga, cinta pasangan, cinta sesame, cinta bangsa negara, banyak sekali cinta dimana-mana. Hal baik akan datang kalau cinta datang pada waktu yang tepat. Bagaimana kalau cinta itu terlambat datangnya?

Sebisa mungkin datang on time, apa boleh buat, sejak banyak kesibukan lebih dari satu tempat, terlambat sedikit jadi tak terhindarkan. Apalagi pada saat bukan harus bawa diri saja, tapi bawa seluruh anggota keluarga berangkat kemana saja, aktivitas apapun. Tak terbayang seperti apa dulu, saat harus berhadapan dengan banyak hal baru dalam waktu singkat. Pokoknya harus bisa! Mental pertama yang dibangun dalam diri cuma itu: pokoknya harus bisa! Namun, bukan tak mungkin, sekalipun sudah bisa, cinta bertepuk sebelah tangan itu kadang terjadi. Memang begitulah adanya.

Pertama, teknologi. Sebenarnya sih bukan cintanya yang terlambat datang, hanya saja memang teknologinya baru ada. Terasa sekali perbedaannya antara dulu aku belajar komputer baru di bangku SMP, sekarang anak-anak baru bisa ngomong saja sudah tahu swipe up. Saat disodorkan buku-buku, jari-jari mungilnya bergerak-gerak seolah-olah setiap lembaran buku itu layar sentuh yang langsung berubah gambarnya. Anak-anak kecil sekarang cenderung lebih mudah kesal kalau sesuatu itu tidak segera ada atau dilakukan. Barangkali itu perbedaan mendasar anak-anak jaman old dengan anak-anak jaman now. Padahal waktu jeda itu perlu supaya tidak mengambil keputusan yang gegabah.

Sumber Gambar: OIP

Kedua, uang. Untuk memenuhi kebutuhan kita para manusia. Jaman dulu kita memang udah harus memperlukan duit untuk beli makan,minum,dll.sekarang mah udah bisa pakai OVO,Gopay ya semacam aplikasi yang lain-lain lah.jaman sekarang anak-anak duit nya 50 ribu 100 ribu,dulu mah aku pas jaman SD duit 500 perak aja udh bisa dapet ciki-cikiyan. Sekarang mah 2000 ribu sampai 20000 ribu ciki mah (dirga). Nah, kan.. Mamanya lagi ketak ketik, ada saja anak yang ikutan nimbrung, kepo. Bahkan ikut nambahin konten pula…

Ketiga, anak-anak. Terlahir dalam sebuah keluarga besar, membuatku dulu sempat berpikir, kehadiran anak-anak itu cuma  bikin suasana makin crowded. Baru pada umur 25-an ingin punya anak sendiri karena lucu-lucu. Baru kesampaian pada usia 29. OMG. Ketuaan gak sih? Better late than never. Soalnya masa sekarang, orang-orang semakin senang travelling dan tak terpikir untuk berkeluarga. Bahkan muncul Gerakan Tak Mau Punya Anak. Bukan karena tidak sengaja, tapi menyengajakan diri. Alasannya beragam, bukan soal ekonomi saja, tapi demi alasan-alasan yang lebih serius daripada penampilan mereka: pencegahan kekerasan pada anak; menjaga jumlah penduduk supaya tetap stabil; demi ketahanan pangan agar manusia-manusia sedunia masih bisa makan, jadi tidak usah menambah satu perut lagi ke dunia ini; bisa adopsi kenapa harus bikin lagi yang baru? Kan masih banyak anak-anak yatim piatu yang butuh kasih sayang dan rumah; lebih baik menyayangi binatang peliharaan daripada anak manusia hasil perbuatan sendiri karena binatang kan suatu saat tak bisa membalas perbuatan baik kita pada mereka (ini maksudnya apa sih? Mungkin dia tidak ingin perbuatan baiknya dibalas oleh manusia lain saat dia sudah tua). Begitulah. Cinta anak-anak itu seperti mencintai sisi kepolosan dan kekonyolan diri sendiri. Semakin bisa menertawakan diri sendiri, manusia semakin mudah berbahagia loh. Punya anak, dituntut untuk bisa humoris, kalau tidak bisa stress bahkan depresi. Sebab anak-anak menunjukkan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari proses dia menjadi manusia yang masih belajar. Akui saja, kita sebagai manusia dewasa pun masih terus berproses, bisa menertawakan kepolosan dan kekonyolan diri sendiri, bagi saya, sebuah hiburan yang lebih baik daripada menertawakan aksi-aksi bully membully orang lain. Cuma kan ya selera orang kebanyakan lebih senang melihat orang lain yang kena sial daripada dirinya sendiri.

Keempat, agama. Sedini mungkin harusnya. Sebab umur tak ada yang tahu. Agama memberi jalan yang mudah menuju Tuhan Yang Maha Esa. Ada sistem yang tinggal dijalani, pun ini tidak gampang. Ada saja hal-hal baru yang harus diadaptasi gegara muncul teknologi. Apakah ini disebut bid’ah? Kalau Gus Baha ingin ada kejelasan soal Syirik: jika orang jaman dulu bawa-bawa keris supaya aman dikatai Syirik, bagaimana dengan jaman sekarang orang galau kalau tidak bawa kartu ATM dan HP kemana-mana? Bukankah keduanya pun sama-sama menunjukkan ketergantungan pada selain Allah SWT? Padahal bawa-bawa keris jaman dulu sesuai konteksnya juga supaya aman dari gangguan begal dan penjajah yang malah senjatanya lebih canggih. Jaman sekarang juga konteksnya kalau tidak bawa kartu ATM tidak bisa bayar belanjaan, kalau tidak bawa HP juga sulit komunikasi sama Pak Suami yang selalu saja bertanya-tanya, “Ada dimana? Sedang apa sama siapa?”. Kalau hal-hal seperti ini dikatai bid’ah apalagi Syirik, bagaimana bukti Islam rahmatan lil alamiin yang akan selalu bisa diterima hingga akhir jaman? Bahkan Gus Baha pun masih mempertanyakan itu. (ratih)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *