Suara MAKI  

Teror Jakarta: SUARAKAN Deradikalisasi daripada Revisi UU Anti Terorisme!

Terror. Jakarta seperti Paris. Jakarta jadi sasaran teroris. Semua orang merasa perlu berkomentar. Mulai dari komentar iseng karena kelucuan yang terjadi saat terror, polisi ganteng, atau betapa “bahagianya” jenazah si pelaku terror. Tak lama kemudian terjadi klaim ISIS bahwa merekalah pelaku baku tembak dan bom di Sarinah. Soal teroris menjadi soal mendunia karena mengecam keselamatan orang banyak. Saat ada banyak reaksi yang timbul selain ketakutan, maka hal itu menjadi menarik untuk diperbincangkan. Sesungguhnnya, masyarakat sedang melakukan terror balik pada serangan bom yang sudah terjadi. Hastag Kami Tidak Takut atau Indonesia Berani, menurut tulisan di media nasional hanyalah ungkapan kelas menengah. Sebab kelas bawah sudah biasa hidup dalam resiko. Seperti si tukang sate atau tukang kacang atau tukang manisan yang tetap berjualan walau terror sedang terjadi di depan mata. Sebab keseharian mereka sudah biasa dengan terror sesungguhnya: lapar, miskin, dan tak dihargai.

Suara MAKI  

Jaga Kemistisan Hutan, Laksanakan dan/atau Revisi UU Konservasi

Bagi orang kota seperti saya, berada dalam hutan seperti menjadi bagian dari mistisnya alam. Terutama saat malam hari. Berdiam diri di tengah hutan dalam keadaan gelap gulita sambil dengarkan suara-suara berbagai macam hewan liar menjadi pengalaman tak terlupakan, sebab tak mungkin dialami di tengah kota. Rasa takut sekaligus pasrah akan segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi: serangan hewan buas, misalnya. Kebersamaan dengan PM (Pethuq Meuhuey/ Penjaga Hutan) Hutan Wehea, Kalimantan Timur (2011- 2012) dan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa tepis ketakutan itu.

Suara MAKI  

Desak Revisi UU ITE Sesuai Hati Nurani Rakyat Jelata

SUARAKAN! Demikian jargon Suara Perempuan Indonesia. Tak semua orang berani menyuarakan opininya atau berani dengan syarat pakai nama samaran. Alasannya takut terjerat UU ITE. Alasan itu cukup dapat diterima, karena UU ITE sudah menjerat ratusan korban karena status mereka di media sosial dianggap tidak ‘sreg’ di hati pejabat publik yang kena kritik. UU ITE yang dimaksud adalah Pasal 27, khususnya ayat (3). Pemerintah menunggu undangan pembahasan bersama dengan DPR RI, yang direncanakan akan dilaksanakan mulai masa sidang Januari 2016. Pasal ini memuat soal pencemaran nama baik di dunia maya. Berikut bunyi Pasal 27:

Suara Kamu  

Tahun 2016: Ibu-ibu Belum Heboh Hadapi MEA

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan Presiden Joko Widodo menyebut 2016 merupakan tahun percepatan kerja dan seluruh kementerian/lembaga tidak diberikan waktu untuk bersantai, kemarin 4 Januari 2016.

Waduh.. bagaimana dengan anda, para perempuan sebagai ibu bekerja, ibu bekerja paruh waktu, atau ibu –ibu rumah tangga? Apakah tahun percepatan kerja pemerintah juga berdampak pada kehidupan ibu-ibu?

Suara MAKI  

SPI di Era MEA

Serius? Pintar? Inklusif? Santai? Peduli? Interaktif? Suara Pembebasan Ibu rumah tangga? Apapun singkatan SPI selain Suara Perempuan Indonesia, menjadi hak anda sebagai pembaca. Di awal tahun ini, melalui Whatsapp dan BBM, SPI memulai Gerakan DO IT SPI (Suami Pria Idamanku). Terdengar main-main, melanggengkan patriarki, ataupun sebutan lain yang mencirikan bahwa SPI sesungguhnya hanya berusaha membuat perempuan statis. Tidak beranjak kemana-mana, tak menjadi apa-apa. Benarkah?

No More Posts Available.

No more pages to load.