Tak disangka, kini saat melihat Bunga Anggrek, akan teringat Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D dan suaminya, Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D. Kedua dosen ini bekerja di UGM (Universitas Gajah Mada). Dua Guru Besar yang bukan hanya kolega, melainkan Dua Guru Besar dalam satu atap. Mengapa bunga anggrek?
DD Orchids bekerja sama dengan Kagama Orchids, meregister sebuah silangan anggrek dendrobium dari “section” spatulata dengan nama Dendrobium I. Dwiprahasto sebagai penghormatan kepada Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D yang wafat karena COVID 19. Anggrek ini merupakan silangan antara Dendrobium Edfrans Charming dan Heart of Northoaks Primary. Register ini sudah diakui dan terdaftar di Royal Horticultural Society, London, sebagai Dewan Registrasi Internasional untuk anggrek hibrida.
Anggrek DID
Sumber Gambar: Kagama.id
Profesor Adi Utarini yang akrab disapa Mbak Uut ini pun dapat dikatakan sebagai bunga bangsa yang mengharumkan bangsa dan negara Indonesia karena prestasinya diakui oleh media internasional, Nature dan Time sebagai ilmuwan berpengaruh di dunia. Meski demikian, Mbak Uut tetap rendah hati dengan mengatakan bahwa penelitian itu merupakan hasil kerja banyak orang yang lalu hasilnya baik. Pada tahun 2022, Mbak Uut menerbitkan dua buku, pertama buku tentang metode penelitian manajemen rumah sakit dan buku kedua berjudul “Sang Guru”. Sebelum kedua buku ini pun, pada tahun 2020 lalu, Mbak Uut menerbitkan sebuah buku teks (yaitu Metode Penelitian Kualitatif untuk Pelayanan Kesehatan: Tak Kenal Maka Tak Sayang) yang sudah 4 kali cetak dan perlu direvisi, sehingga kemungkinan tahun 2023 akan menerbitkan edisi 2 buku tersebut. Berbeda dengan dua buku teks khusus untuk para akademisi dan mahasiswa, buku “Sang Guru” diperuntukkan untuk audience yang lebih luas karena berisi soal kehidupan sehari-hari bersama Profesor Iwan Dwiprahasto, kolega sekaligus suami tercinta. Berawal dari tulisan-tulisan sebagai curahan hati ketika suaminya meninggal dunia karena Covid 19 pada bulan Maret 2020, refleksi pribadi itu kemudian menjadi sebuah buku biografi yang menceritakan awal mula pertemuan, kisah keseharian “Dua Guru Besar dalam Satu Atap” membesarkan dan mendidik seorang putri hingga menjadi gadis cantik yang kuat menghadapi berbagai peristiwa kehidupan. Termasuk pada saat musibah ini datang pun, putrinya tetap tegar bersama.
Prof. Adi Utarini dan “Sang Guru”
Sumber: dok. pribadi
Selain menjadi dosen dan ibu dari putri semata wayang, Mbak Uut selalu menekankan pentingnya ada kesamaan antara peran akademisi dan ibu. “Keduanya sama-sama mendidik, hanya saja, sebagai akademisi perannya membimbing banyak mahasiswa, sementara ibu mendidik anaknya saja. Mas Iwan selaku suami dan Bapak juga selalu mengingatkan, mendidik mahasiswa itu bukan sekedar membimbing, tapi juga membombong yang berarti membesarkan hati. Mungkin ada hal-hal yang kita tidak sukai dari mahasiswa kita, seperti halnya anak juga bisa bandel. Cuma bagaimana kita bisa membesarkan hatinya”, tuturnya.
Mbak Uut juga adalah anggota dewan pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). “Peran saya di BRIN bukan sebagai eksekutifnya ya, tapi sebagai Anggota Dewan Pengarah. BRIN memberikan fasilitasi bagi anak-anak muda untuk melakukan penelitian. Apalagi pada bidang keilmuan tertentu, alat-alat penelitian itu sangat diperlukan. Kalau tidak ada alat, tidak dapat melakukan penelitian. Bisa dicek di website BRIN yang sudah kaya akan program-program untuk anak-anak muda, mulai dari penghargaan bagi anak-anak tingkat SMA, hingga kesempatan bagi peneliti muda untuk mengembangkan proposal untuk mendapatkan pendanaan”.
Lalu bagaimana dengan kehidupan spiritual seorang Profesor, mengingat ilmuwan dikenal sebagai sosok yang logis dan realistis menghadapi berbagai hal-hal ghaib yang terjadi dalam kehidupan? Terlebih almarhum Prof Ramlan (Ayahanda Prof. Uut), salah satu Guru Besar UGM. Sesungguhnya juga merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, pelaku pertempuran heroik di Solo. Prof. Ramlan berjuang bersama Slamet Riyadi dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta bersama mantan Presiden, Jendral Soeharto. Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa TNI (Tentara Nasional Indonesia) masih ada dan cukup kuat. Namun, Prof. Ramlan kemudian lebih memilih berkarier di dunia akademisi. Prof. Ramlan pada masa remaja tinggal bersama di lingkungan keluarga ulama, Syekh Barmawi, salah satu Ulama Solo yang menimba ilmu agama di Makkah. Pada saat ada sebuah visi dan misi negara, apakah yang akan didahulukan: profesionalitas sebagai ilmuwan atau hamba Allah SWT?
Menurut Mbak Uut dalam menjalani hidup ini berjalan saja tanpa perlu mempertentangkan itu. Sebab profesi apapun dalam dunia ini pada akhirnya bukan untuk tujuan duniawi saja, tapi juga untuk akhirat. Sehingga cara-caranya dalam menjalani hidup di dunia juga harus sesuai dengan akhirat. “Pada saat Mas Iwan sakit, meninggal, kemudian saya juga sakit, diisolasi, ada banyak pengalaman spiritual. Artinya hal-hal ghaib itu menjadi logis. Kenapa saya harus bersyukur di saat Mas Iwan pergi? Itu kan awalnya saya pikir gak logis harus bersyukur di saat sedang menjalani musibah. Awalnya gak paham, tapi kok lama-lama ada juga hal-hal logisnya. Bersyukur dalam musibah itu kemudian menjadi logis”, pungkasnya.
Sebagaimana anggrek DID, penyilangan dua hal yang berbeda itu ternyata menghasilkan bunga baru nan indah. Anggrek DID yang sebelumnya tak pernah ada, kini menjadi alternatif bagi para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Bunga anggrek yang mampu menggerakkan perekonomian bangsa dan negara. (rkk)