Gooooall! Ternyata goal terindah bukanlah goal kemenangan Argentina atas Perancis di Piala Dunia 2022 di Qatar. Bagi mamake, goal terindah di dunia itu adalah goal kemenangan anak dalam sebuah lomba antar kelas di sekolahnya. Terdengar sepele. Namun perjuangan untuk meraih itu bukan hal mudah, mengingat bagaimana dia dulu sewaktu kelas satu. Duh.. rasanya baru kemarin rasa deg-degan dan was-was tinggalkan anak sendirian bersama gurunya, berjam-jam di tempat asing bagi dia. Demikian sebaliknya, anakku juga khawatir gak pulang lagi ke rumah kayaknya, gurunya kasih kabar anakku itu suka terlihat sedih. Itu 4 tahun lalu, dan sekarang dia begitu percaya diri di lapangan. Ambil keputusan per sekian detik untuk oper bola ke temannya atau tembak langsung ke gawang. Mochammad Diwiryo – YouTube Alhamdulillah… tak sia-sia juga sikap tegas bapake latih dia lari, sepakbola, basket atau bulu tangkis setiap ada waktu luang.
Goal. Secara sederhana dan kaitannya dengan olahraga berarti memasukkan bola ke gawang, untuk cetak skor. Namun secara wacana, goal berarti cita-cita yang mampu terwujud, menjadi sebuah kenyataan. Begitu sulit mencapai sebuah goal. Perlu strategi, kerjasama antar pemain dalam sebuah tim, latihan terus menerus, dan pada akhirnya berusaha sekuat tenaga di lapangan.
Lalu apa goalmu, Pak, Bu? Ini sudah akhir tahun 2022, jelang tahun 2023. Adakah yang belum terwujud di tahun 2022 dan menjadi pekerjaan rumah di tahun 2023 dan seterusnya dan seterusnya.. sebagai ibu yang lebih banyak di rumah bersama anak-anak, goalnya ya berhubungan dengan mereka saja. Lebih mudah mengikuti program-program dari sekolah. Masa-masa tersulit itu justru pada saat anak balita, saat hidup mereka “tanpa kurikulum”, menjadikan mamake harus kreatif dalam membimbing mereka mencapai suatu perkembangan. Contohnya saja, soal mulai berjalan, berbicara dan lain sebagainya. Bicara dengan ibu-ibu lain, ada positif negatifnya. Pada saat kondisi tertentu sama dengan lainnya, takkan jadi masalah. Bagaimana seandainya perkembangan anak kita berbeda dengan anak-anak seusianya? Entah itu lebih lamban atau terlalu cepat, kadang buat ibu panik.. Untungnya jaman now, pada saat tidak ada teman sharing, sebagai ibu, kita bisa browsing sendiri. Walau info dari internet tidak selalu 100% sesuai realita. Tetap perlu sharing dengan sesama ibu atau para ibu senior yang telah makan banyak asam garam. Kita juga perlu kritis sih kalau dengar mitos-mitos soal anak balita. Terutama di daerah-daerah, kadang mitos itu bersebrangan dengan ilmu kedokteran anak. Soal pencegahan penyakit atau perawatan saat sakit. Soal ini kembali ke keyakinan orang tua, apakah akan mengikuti cara-cara tradisional atau modern. Misalnya, saat anak masuk angin, apa perlu langsung dibawa ke dokter lalu diberi resep obat yang mengandung antibiotik? Saat muncul isu anak-anak kecil sudah gagal ginjal, sepertinya kita perlu pertimbangkan pemakaian obat dari dokter. Dokter beri resep dengan asumsi, ibu-ibu sudah coba obat ini itu sebagai cara penyembuhan, resep dokter bisa dianggap sebagai langkah akhir pengobatan. Ada juga ibu-ibu yang masih fanatik dengan pengobatan tradisional, beri jamu atau obat-obatan herbal. Cuma masa penyembuhan bisa lebih lama daripada resep dokter. Apapun pilihannya, semoga anak-anak kita sehat selalu…
Itu goal soal kesehatan anak. Lalu bagaimana dengan pendidikan? “Belajarlah mulai dari buaian ibu hingga ke liang lahat”. Jadi tak ada batas minimum dan maksimum untuk belajar. Sebetulnya, sambil ibu mengajari anak, ibu juga jadi belajar lagi, mengulang masa kecil. Apa guna sih? Kadang mikir gitu, kan udah bisa? Tuhan Yang Maha Esa bisa saja sedang mengingatkan untuk selalu rendah hati, “Hei.. ingat loh, kamu juga dulu pernah begitu, gak bisa ngomong, gak bisa baca, gak bisa nulis.. saatnya kamu balas hutang budi orang-orang yang sudah ajari kamu dengan mengajari orang lain lagi (anak-anak biologis ataupun anak-anak ideologis?!)” Tak ada hal yang instan, semua dilakukan per suap hingga akhirnya sebakul pengetahuan itu bisa terinternalisasi pada anak-anak. Semoga saja tak ada salah paham dalam prosesnya. Sebagaimana ungkapan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Berat bener dah jadi Ibu, walau tak pernah bercita-cita selamanya jadi guru, tapi memiliki anak-anak berarti segala ucapan dan perilaku kita jadi pelajaran buat dia. Maka mamake (gue ya.., gue aja kali.. hihihi) belajar untuk jaga segala macam sikap. Ehm… jaim jaim gimana gitu, tapi ada juga momen-momen santainya biar semakin bonding dengan anak-anak, biar tak kaku.
O ya.. ini soal goal kan? Orang tua sebagai manusia yang tak sempurna dan memiliki cita-cita yang tak semuanya tercapai, kadang suka punya ekspektasi tinggi pada anak-anak supaya mereka lebih baik segalanya daripada kita dahulu. Kalau anak-anaknya bisa ikuti alhamdulillah, lanjut terus. Bagaimana kalau anak-anaknya merasa terbebani dengan berbagai macam tugas seabrek yang kita harapkan bisa dilakukan oleh anak-anak kita yang belum tentu semuanya mampu dan mau? Nah.. disitulah perlu kerjasama orang tua dengan pihak sekolah. Jadi masih perlu sekolah kan? Misalnya kita bercita-cita hafal Al Quran 30 juz tapi waktu kecil kita tak pernah ditargetkan begitu. Nah, pasti ada metode-metode terbaru dari pihak sekolah yang lebih berpengalaman, berpengetahuan dan bersanad. Jadi lebih jelas gitu loh. Soalnya pendidikan bukan soal pengetahuan saja, tapi melibatkan berbagai macam hal, soal metode, sanad (soal ilmu agama), adab dan banyak hal lainnya… otodidak bisa dan boleh-boleh saja. Namun di tengah dunia saat ini, bukti bahwa kita menguasai hal tertentu itu butuh pembuktian dan pengakuan. Asal kita yakin dan teguh pendirian dengan niat baik kita, pembuktian dan pengakuan itu akan muncul sendiri. Selow aja… (rkk)