Senja

Tak dapat kugambarkan seperti apa senja yang ingin kulihat, seindah senja yang ada dalam “Sepotong Senja Untuk Pacarku” (SSUP) atau lainnya. Tiba-tiba anakku ingin ganti wallpaper bergerak di laptop, dan ada gambar SENJA! Senja lengkap dengan air laut yang berombak-ombak kecil. Ombak-ombak bergelombang yang membuat kita seperti mengayun lambat dengan fokus tepat pada senja. Matahari merah dengan semburat jingga. Sebuah kondisi antara: tak lagi siang, belum juga muncul gelap malam pekat. Begitulah senja. Senja yang bukan milik anak desa kota sepertiku, yang mengenal matahari saat ia sedang terang benderang lalu langsung hilang. Tergantikan lampu-lampu yang nyala, tinggal klik atau lilin-lilin yang bertahan hingga pagi saat listrik kadang mati. Tak ada matahari merah dengan semburat jingga yang perlahan tenggelam digantikan warna ungu yang semakin menghitam, pemandangan biasa bagi anak-anak pantai. Sebagaimana disampaikan dalam SSUP, penggambaran senja berdasarkan kesaksian para anak pantai aseli. Merekalah yang paling tahu seperti apa itu senja di tepi pantai yang lengkap dengan ombak, pasir dan air laut. SSUP adalah sebuah komposisi dalam 13 bagian yang mampu menyelamatkan hidup orang (maaf, gue aja kali?) dari mati kebosanan karena rutinitas dan terjebak karena pandemi. Isinya mampu memudakan kembali jiwa-jiwa lelah yang merasa “cinta t*i kucing”. Mampu membawa kembali memori pertemuan pertama dengan suami serta alasan-alasan tetap bertahan bersamanya. Hingga kini dan nanti daaan justru memberi harapan karena cinta-cinta lain dalam pernikahan, bukan berarti selingkuh… tapi cinta-cinta antar sesama sebagai fitrah manusia. Bahwa pernikahan bukan titik akhir manusia mengenal cinta. Pernikahan bukan sebuah jurang dalam gelap tanpa cinta. Pernikahan adalah cinta hidup bersama satu orang di sisi kita plus anak-anak dengan dukungan dan harapan akan kehidupan yang lebih visioner dengan cinta banyak orang. (Terima kasih pada para pencinta kopi kami ? dan klien pengguna jasa kami).

Kedua Buku Karya Seno Gumira Ajidarma

“Jazz, Parfum dan Insiden” (JPI) juga ditulis oleh penulis yang sama, Seno Gumira Ajidarma. Buku ini sempat menghilang saat akan kubaca kembali. Sempat terpikir, “Disembunyiin suamiku kali karena cemburu” tapi isi buku ini dimaksudkan lebih politis, tak seroman SSUP. Jadi ngapain cemburu? Seharusnya lebih cemburu pada isi SSUP karena isinya memang tentang cinta antara Alina dan Sukab. Ternyata suamiku tak sebegitunya. Kutemukan buku itu ada disampingnya. Tak disembunyikan atau tersembunyi. Aku duluan yang ke-GR-an. Seperti pertanyaan, “Kamu siapa dan mau apa?” lalu tetiba orang yang buat penasaran itu berbicara dengan orang lain yang lebih dekat dengan intimnya. Pakai handphone. Sementara kita, bukan siapa-siapa, tak dikenal dan terkenal, ingin diajak ngobrol. Duuuh… malu.

Senja yang kubayangkan lebih tepat seperti wallpaper bergerak yang dipilihkan anakku ketimbang cover buku SSUP. Barangkali karena ada sensasi ombak bergoyangnya, jadi secara visual lebih make sense. Senja menjadi milik manusia walau menyisakan rasa waswas akan hilangnya terang tergantikan gelap gulitanya malam, sekaligus mengingatkan kita akan harapan tibanya sunrise setelah hitam pekat di sepertiga malam. Sepertiga malam waktu terafdol untuk meminta pada-Nya, menimbulkan sumringah karena munculnya matahari lagi. Demikian setiap hari. JPI memang terdengar suram karena pertemuan-pertemuan dengan para perempuan berparfum itu datang dan pergi. Dalam sebuah kritik sastra kubaca, JPI ditulis oleh seorang penulis imajinatif, artinya ia tak benar-benar melakukan pertemuan malam yang nyata. Ia sekedar menuliskan malam-malam imajinatifnya sebagai sebuah kritik sosial. Maka sastra menjadi sumbangan yang nyata pada kebudayaan dan peradaban manusia karena bentuknya yang berupaya mengkoreksi, memperbaiki, memberi saran kebaikan. Bukan sebuah novel serupa stensil murahan atau kritik pedas tanpa solusi. Novel yang menjadi mahakarya manusia Indonesia sebentuk harapan akan bangsa dan negara Indonesia (yang diprediksi akan punah pada usianya yang ke-100) masih akan bertahan lebih lama daripada 100 tahun kemerdekaan saja dengan kondisi melek huruf dan punya karya yang dapat dibanggakan sebagai bukti kemanusiaan dan kebersamaan para warganya.

Kubayangkan jawaban Alina dalam SSUP yang lebih memberi harapan, bukan sebuah penolakan terang-terangan. Dia (kata ganti ketiga perempuan) yang menerima cinta tak abadi dari ia (kata ganti ketiga laki-laki). Walau dia telah bersuami dan beranak. Dia yang merasa surat ia telat datang karena baru tiba di depan rumah 10 tahun kemudian dari waktu surat itu harusnya sudah tiba. Gegara senja. Keindahan hujan dan senja yang kemudian menjadi milik bersama walau cinta bukan lagi untuk dia. Betapa sebuah romansa yang memberi harap, haru dan semangat juang. Terima kasih sastra, terutama dua kumpulan komposisi ini yang saling jalin dan memiliki benang merah untuk tak menyerah, betapapun pada cinta bertepuk sebelah tangan. Akan selalu ada matahari terbit di esok hari, betapapun kita ingin mengabadikan senja yang indah. Senja tak terlupakan sebagai sebentuk bukti cinta untuk dia yang bersuami dan beranak. Tukang pos yang juga beranak pinak. Lalu menjadi pembangun peradaban sebuah dunia dalam amplop. Tukang pos yang lebih beruntung daripada ia. (rkk)

 

Sumber Rujukan:

Gumira Ajidarma, Seno. Jazz, Parfum dan Insiden. 1996. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Gumira Ajidarma, Seno. Sepotong Senja untuk Pacarku. 2002. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *