[contact-form][contact-field label=”Name” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Email” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Website” type=”url” /][contact-field label=”Message” type=”textarea” /][/contact-form]
Pasca Pemilu 2019, Presiden Jokowi langsung dapat tantangan dari seorang guru perempuan yang kasusnya menasional gara-gara pelecehan seksual Kepsek di Mataram. Usai kronologi panjang perjuangan Baiq Nuril sebagai tenaga honorer SMAN 7 Mataram (NTB), MA menolak Peninjauan Kembali yang mengakibatkan Baiq Nuril dan kuasa hukumnya mencari alternatif selamat: amnesti presiden.
Baca kasus ini, teringat kasus pelecehan seksual lain di JIS yang melibatkan terduga guru WNA & petugas kebersihan. Saat itu, para orang tua murid membela guru karena curiga dengan cerita versi orang tua murid. Pun kecurigaan itu bertambah pula karena orang tua murid sebagai korban (single parent) meminta ganti rugi bernominal sangat besar pada pihak sekolah sebagai tergugat. Entah faktor apakah yang menyebabkan komunitas orang tua murid ini begitu solid untuk membela guru WNA lawan sesama orang tua murid, padahal seorang anak menjadi korban. Bisa jadi juga karena salah seorang feminis termasuk keluarga besar komunitas orang tua murid. Jadi berkemungkinan lebih paham soal kehidupan sosial perkotaan. Entahlah. Satu hal yang menarik dari kasus Baiq Nuril ini, peran komunitas orang tua murid tidak terberitakan media. Apakah Baiq Nuril dibela oleh sebagian besar orang tua murid di Mataram sana? Apakah justru Kepsek yang dibela komunitas orang tua murid yang pernah diajar BN karena dianggap terpandang? Berita yang beredar (setidaknya yang sempat saya baca di berbagai media) justru Kepsek dipromosikan naik jabatan oleh pihak sekolah. Nah.. promosi ini apakah juga ada peran komunitas orang tua murid dibelakangnya?
Pemberitaan media juga menyebutkan Baiq Nuril dibantu kuasa hukum dalam proses pasca putusan pengadilan. “Sebuah Harapan bagi Baiq Nuril” demikian judul berita di Kompas, Selasa, 9 Juli 2019. Semoga saja argumentasi yuridis yang disusun Menkumham Yasonna H. Laoly cukup untuk diajukan Presiden ke DPR. Tekanan dari beberapa LSM sebagai pendukung Baiq Nuril juga diperlihatkan. Saat ini memang kasus sudah ada di tangan presiden.
Barangkali di mata para orang tua murid disana, Baiq Nuril sebagai tenaga honorer kurang dikenal kalau tidak dianggap kurang penting. Namun saat kasus bergulir, Baiq Nuril bukan lagi sekedar tenaga honorer. Ia berubah menjadi seorang perempuan pencari keadilan, saat dirinya berubah status sebagai korban malah diberi hukuman. Kasus ini seolah menjadi uji coba janji presiden sekaligus menunjukkan pada publik betapa bahayanya UU ITE yang baru ini. Siapapun dapat menjadi korban. Solusinya? Cukupkah sekedar sharing hal bermanfaat saja dengan acuan MAKI (Mencerahkan Aktual Kritis Independen)? Kami sudah berusaha membudayakan MAKI secara online. Namun selama ini belum dianggap serius. Perlukah menunggu banyak korban dulu? Lalu mampukah UU Anti Kekerasan Seksual mengcover kekurangan yang ada pada UU ITE sebagaimana terjadi pada kasus ini atau justru perempuan malah akan mendapat hukuman berkali lipat? Hal ini menjadi concern saya selaku orang tua murid di Pulau Jawa (jauh dari NTB) karena isu ini terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus Baiq Nuril sebagai sebuah fenomena yang mengkhawatirkan karena Baiq Nuril justru sedang membela dirinya karena perlakuan tidak layak dari atasannya saat merekam percakapan di telpon beberapa tahun lalu. Jika kasus ini mental dari tangan presiden, maka apa yang diharapkan dari revolusi mental? Diam tak bersuara bila memperoleh perlakuan tidak manusiawi? Tentu tidak bukan. Perempuan berhak bersuara. Agar tidak muncul lagi korban-korban selanjutnya. Semoga revolusi mental itu nyata adanya. Setidaknya pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Sebab keduanya dekat dengan masyarakat, sebab keduanya juga sebagai indikator masih adakah bangsa negara ini di mata hukum Indonesia? Kalau sudah tak ada lagi harapan, perlukah para pencari keadilan ini bergerak sendiri?! Sementara pada waktu hampir bersamaan, seorang perempuan lain melenggang keluar dari penjara karena kasus prostitusi di Surabaya. Berlibur di Bali, memamerkan kebebasannya. Apakah yang ingin dipertontonkan di era revolusi mental?