“Mobil mewah bukan barang penting bagi republik ini saat ini” statement ini keluar dari Menkeu Indonesia, Sri Mulyani hari Rabu, 5 September 2018. Masyarakat yang memiliki mobil mewah akan dikenakan pajak 190 persen. Yup. Thanks to you guys yah.. buat para penggemar mobil mewah. Berkat anda rupiah melemah terhadap dollar. Berkat anda juga pajak barang mewah menjadi tinggi.
Dilematis hidup di masa sekarang? Di satu sisi saat ingin menampilkan prestasi, membeli barang mewah menjadi kebutuhan (tersier). Di sisi lain hidup sederhana sesuai tuntunan Islam dengan resiko akan dipandang sebelah mata karena seolah tak giat bekerja apalagi berprestasi. Yup. Beginilah resiko kalau prestasi melulu dilihat dari kebendaan.
- Misalnya saja, atlit berprestasi di Asian Games 2018 dapat milyaran rupiah. Pengisi hiburan pada penutupan Asian Games 2018 dapat mobil mewah dan royalti milyaran karena lagunya ada di tangga lagu Billboard.
Wow! Sukses! Hebat! Begitulah decak kagum rakyat Indonesia. Ada rasa bangga sekaligus harapan besar pada generasi masa depan negeri ini. Perbaikan penghargaan pada atlit, pada penyanyi. Profesi-profesi yang selalu jadi kendala dapat restu orang tua karena tidak menjanjikan, sifat kesementaraannya, ataupun karena alasan lain yang sifatnya ukhrawi.
“Rejeki bukan gaji”, papaku selalu ngomong gitu dari dulu. Sekarang malah dipake motivator $100.000 dalam videonya yang beredar di whatsapp. Rejeki bukan bentuk uang saja.. sesuatu bisa disebut rejeki kalau itu berupa rasa puas saat bekerja. Rasa syukur dalam menjalani hari. Kemudahan dalam setiap langkah kehidupan. Selain penghargaan berupa uang, para atlit juga diberi status ASN. Namun salah satu atlet putra badminton peraih medali emas tak bisa membayangkan dirinya kerja kantoran. Sebab kecintaannya memang olahraga. Ingin tetap di seputar badminton. Begitulah rejeki yang sifatnya ternyata relatif bagi setiap orang.
Harta tidak selamanya buruk. Beberapa tahun lalu dalam MaPI (Majalah Percikan Iman) seorang ustadz menulis, “Jangan takut kaya!” Betul bahwa rejeki itu bukan gaji. Rejeki itu bukan selalu berarti limpahan harta. Rejeki itu luas. Nah.. untuk menggapai pemahaman ini diperlukan usaha. Kemudahan dan kesehatan saat melakukan usaha itu juga bagian dari rejeki. Bila kemudian mendapatkan limpahan harta.. disyukuri saja. Toh.. karunia dari Allah itu ada berupa harta juga. Tinggal bagaimana cara mencapainya dan untuk apa dipergunakannya. Islam bukan agama orang miskin loh. Para sahabat dan Rasul pun dalam sejarahnya seperti “alergi harta” karena takut terpedaya oleh dunia hingga melalaikan akhirat. Namun harta tetap menghampiri mereka tuh kemudian dimanfaatkan untuk dakwah. Bedanya dengan manusia jaman sekarang.. limpahan harta hanya untuk pamer dijadikan ‘teman’ selfie. Berharta dalam Islam ada aturannya.. 1/3 untuk kebutuhan hidup, 1/3 untuk tabungan/ investasi/ usaha, dan 1/3 lagi untuk kepentingan umat. Sudahkah kita mengatur keuangan seperti ini? Kalau belum, alasannya banyak lagi: harga-harga meroket, banyak cicilan, UMR gak naik-naik.. boro-boro punya usaha.. buat makan saja susah. Boro-boro punya tabungan.. bayar listrik aja masih deg-degan. Bayar sekolah apalagi.
Entah harus mulai dari mana. Siapakah yang harusnya memulai dulu ekonomi Islam? Umat atau pemerintah? Saat umat sudah berusaha aplikasikan ekonomi Islam ternyata dipersulit oleh pemerintah, misalnya soal ijin usaha yang prosedurnya berbelit-belit dan mahal. Modal habis untuk urusan ijin saja. Belum juga produknya laku.
Lalu.. persoalan selera. Semua sudah ok.. modal, ijin, produk, sarana prasarana.. setelah produksi massal ternyata pasar tidak selera ? karena ada produk impor yang lebih bergengsi. Tetap saja jangan khawatir. Rejeki itu bukan gaji.
Sumber:
Media online
QS.Qashash 22, 77
QS. Abassa 33-41