Bila kemerdekaan bagi perempuan adalah memutuskan sesuatu atas kehendaknya sendiri, maka pada tahun ini saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games: siapa sajakah yang patut berbangga atas kemerdekaan dirinya? Apakah perempuan Indonesia sudah mampu mengaplikasikan nilai-nilai sportivitas layaknya atlet dalam lapangan tanding
Secara pribadi, di era digital ini saat menuangkan pikiran dalam status sosial media begitu mudah.. menjadi mempertanyakan apakah penulis status sosial media mampu menyejajarkan diri dengan para penulis buku di saat terjadi pelarangan buku (mulai sejak 1963 s.d 2011). Status sosmed yang saat ini seperti perpanjangangan media massa yang punya kekuatan pengaruh di masyarakat saat viral atau dilakukan serentak dengan tema sama. Misalnya pergerakan massa via online. Apakah mungkin?
Pertama, dari sisi kepribadian.. perempuan ekstrovert, introvert atau kepribadian antara keduanya punya cara sendiri dalam mengekspresikan dirinya pada dunia luar. Barangkali supaya lebih bisa diterima atau sekedar dimengerti. Sebab manusia lain cenderung takut pada suatu hal yang tak dikenalinya. Maka bagaimana mungkin bersosialisasi kalau dalam interaksi sudah ada jarak. Penyebabnya: prasangka. Prasangka lebih tumbuh subur di era digital kini karena ditegaskan oleh kata-kata dalam dunia maya. Pun dapat ditepis lewat kata-kata pula. Meski ada ungkapan picture says louder than words.. bagaimanapun kata-kata tetap punya peranan. Kalau tidak menyampaikan maksud/ rasa penasaran.., bagaimana mungkin orang lain dapat memahami diri kita? Kalaupun prasangka itu dapat dikuatkan atau ditepis.. pada akhirnya tergantung penilaian orang lain atas dasar like or dislike… Sebagaimana para cyber army berusaha membuat citra positif para calon pemimpin negeri ini. Utamanya jelang Pilpres 2019.
Kedua, penulis sosial media mendasarkan diri pada status~status pada timeline sosial medianya atau berita~berita online yang viral. Apakah perlu interview tokoh terkait sebuah isu? Tidak ada yang merasa perlu tuh. Karena sifatnya iseng… , sekedar turut ingin didengar.. turut berpartisipasi layaknya citizen journalist pun tak terlalu concern siapakah pembacanya? Sementara penulis “beneran” selain mengamati timeline, berita di media, juga punya referensi-referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana kalau penulis yang pengen dianggap beneran itu cuma ibu rumah tangga dalam real life? Komprehensifkah opini mereka? Tentu. Emak-emaklah yang paling memahami situasi negeri ini di tingkatan terendah sebuah lembaga: rumah tangga. Kita (gue.aja.kali?) sebagai ibu rumah tangga penjaga kehidupan bangsa ini.. penopang beratnya kehidupan saat sosial ekonomi terpuruk misalnya. Kitalah pijakan terendah bangsa Indonesia disaat pucuk pimpinan negeri ini berada di masa indah atau masa buruknya. Penjaga generasi adalah ibu. Ibu yang mencurahkan pikiran, emosi, tubuh dan jiwanya bak mentari tanpa pamrih. Patutkah kita sebagai ibu rumah tangga “dikubur hidup-hidup”? Apakah mau? Walau “hanya” opini kita yang dibungkam?
“Tenggelamkan!” jargonnya Menteri Susi cukup hanya berlaku bagi kapal-kapal asing yang mencuri ikan-ikan di lautan Indonesia. Tak perlu “tenggelamkan!” kami para ibu rumah tangga yang jauh dari akses pada kekuasaan.
SUARAKAN! Sesuai dengan konteksnya.. bukan sekedar ghibah apalagi fitnah. Maka nilai sportivitas atlit sudah hadir dalam keseharian kita. Event Asian Games 2018 bukan sekedar seremonial 4 tahunan bagi ibu-ibu tapi juga mengandung nilai yang dapat kita wariskan pada generasi bangsa ini. Bismillah…
(ratih karnelia kusumawardhani)