Ironisnya.. peristiwa teror dan bom terjadi di bulan Mei. Bulannya peringatan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Lantas.. menjadi pertanyaan mendasar saat ini: apa harapan dari sebuah lembaga pendidikan (keluarga dan sekolah)?
Pertanyaan ini mudah saja jawabnya tapi mungkin ada banyak versi atas dasar pengalaman orang yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa pendidikan terbukti berhasil suatu saat nanti bila anak-anak dewasa bisa mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bersosialisasi dengan baik, atau memiliki banyak materi sebagai indikator sukses. Nah.. pelaku teror dan bom umumnya terbukti memiliki hampir seluruh kriteria berhasil sebuah lembaga pendidikan. Namun mengapa justru memilih untuk melakukan bom bunuh diri?
Sumber Gambar: kompas
Pertama, pemahaman ideologi yang dianggap melenceng oleh masyarakat umum walau benar menurut golongannya. Bukan cuma ideologi atas nama agama Islam saja hal ini berlaku. Saya pernah ada obrolan dengan mereka yang mengaku atheis (walau lebih tepat agnostik) atau percaya ada kekuatan “The Universe” tapi tidak menjalankan ritual agama dalam keyakinannya. Mereka menganggap ritual agama percuma tanpa respect pada kehidupan sesama manusia. Meski.. dalam keseharian juga punya ritual non relijius (bangun tidur pada jam yang sama, sarapan, bekerja, bercengkrama dan lain sebagainya).. artinya tidak melakukan ritual agama bukan tidak bisa. Tapi karena tidak mau. Bukan tidak mampu tapi ada rasa angkuh dalam dirinya, tidak butuh menghamba pada Sang Kuasa. Ada juga yang mencontoh orang tuanya yang memang tidak mengajarkan ritual keagamaan tapi menekankan pentingnya hubungan baik antar sesama manusia, berhubungan setia pada satu pasangan, tidak memaksakan pemikiran atau cara hidup pada orang lain dan tidak melanggar hukum di negara tempat ia tinggal.

Sumber Gambar: science daily
Kedua, menurut Al Quran.. ada orang-orang yang menjadikan Tuhan sebagai hawa nafsu mereka. Keyakinan pada hal non materi (ideologi) maupun materi (harta kekayaan) pada saat ini menjadi “Tuhan” baru yang senantiasa jadi tujuan akhir hidup manusia. Padahal Allah mengingatkan untuk jadikan Al Quran & Hadits sebagai pegangan dalam hidup di dunia sehingga bukan ideologi atau harta yang akan melimbungkan pikiran, hati dan emosi. Namun semua itu sekedar alat demi Allah semata. Ideologi yang baik akan mengarahkan manusia untuk berbuat baik, bermanfaat bagi orang lain, dan beribadah pada Allah SWT (maaf ini sesuai keyakinan saya sebab hanya ini yang saya tahu, bukan berarti memaksakan hal yang sama pada pembaca. Pun sebagai klarifikasi bahwa teror bukan berasal dari ajaran agama Islam). Harta yang baik dan banyak juga alat untuk hidup sesuai tuntunan-Nya.. ujung-ujungnya juga diniati ibadah walau dalam pemanfaatannya bisa beragam.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. SesungguhnyaAllah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash:77)
Simpulannya? Pendidikan bukan berarti menjadi sama dengan orang lain seluruhnya sebab tak mungkin menjadi pribadi seragam. Anak kembar saja memiliki keunikan sebagai seorang pribadi. Namun golnya adalah memenuhi standar tertentu yang diterima masyarakat walau tak mungkin juga tidak menjadi menyebalkan asalkan masih dalam kadar yang bisa diterima akal sehat, tidak sampai pada titik ekstrim berlebihan. Akui saja: setiap orang punya kecenderungan untuk menjadi menyebalkan, menjadi menggila pada situasi tertentu, tapi bisa kembali “normal” bila diingatkan. Kalau sudah pada titik ekstrim seperti bom Surabaya yang mengakibatkan 13 orang meninggal & 43 orang terluka, sudah diingatkan pun sulit kembali “normal”. Kejeniusan macam Stephen Hawking atau orang besar lainnya juga punya “kegilaan” karena pemikirannya out of the box. Namun “kegilaan”-nya masih bisa sesuai dengan logika umum serta dianggap tidak merusak. Walau “kegilaan” dan “kejeniusan” itu beda-beda tipis, selama tidak “berbuat kerusakan” maka masih bisa dianggap “normal”. Jadi seekstrim apapun ibadah atau dosa seorang manusia selama hal itu tidak “merusak” tatanan masyarakat, maka masih bisa diterima. Pengeboman adalah sesuatu yang tidak bisa diterima karena merusak, meresahkan, dan memakan korban jiwa. Disitulah fungsi keluarga dan sekolah (umum atau homeschooling atau online): ingatkan norma-norma, tidak merusak, dan mengakui hak-hak orang lain (walau berbeda dengan diri atau golongannya).
Keyakinan pada kitab suci bukan lagi soal fiksi atau fiktif (bila bicara soal keyakinan), namun amal perbuatanlah yang membedakan seseorang benar atau salah, waktu dan amallah yang akan membuktikan kegilaan atau kejeniusannya. Adakah fungsi teror dan bom secara positif? Bisa jadi ada sebagai dukungan sebuah revolusi…
(ratih karnelia)