Tahun 2017 bersinar terang untuk para perempuan Indonesia. Sebab srikandi Indonesia mendapatkan penghargaan internasional:
Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri mendapatkan penghargaan di sela-sela sidang tahunan PBB ke 72. Ia menerima penghargaan Agen Perubahan Untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dari Badan PBB Urusan Perempuan (UN Women). Menurut siaran pers Kemenlu, penghargaan itu diberikan sebagai pengakuan atas upaya yang telah dilakukan Menlu Retno khususnya untuk memajukan agenda bagi Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan juga dalam menangani isu-isu global melalui kemanusiaan dan diplomasi damai. Pada tanggal 21 September 2017 terutama karena usaha diplomatiknya pada isu Rohingya di Myanmar.
Hal ini selayaknya menjadi kebanggaan perempuan Indonesia dan pemicu semangat perempuan Indonesia lain untuk terus berbuat demi kebaikan sesama umat manusia sekalipun mereka di belahan bumi lain.
Sumber Gambar pixabay
Tahun 2017 diwarnai dengan isu sosial politik yang membenturkan identitas diri manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa dan agama. Dimulai dengan adanya Aksi 212 dan Pilkada DKI Jakarta.
Sekalipun sebelumnya NU sudah mencanangkan Islam Nusantara.. tetap saja berbagai peristiwa sosial politik itu seakan mempertanyakan lagi: saya itu orang Indonesia atau orang Islam?! Sekalipun sebenarnya itu bukan pilihan. Islam adalah agama universal yang bisa bertahan hidup di belahan bumi lainnya. Pun apakah negara-negara Islam pun warganya mengalami hal yang sama seperti mayoritas Islam di Indonesia? Sepertinya keunikan Indonesia ini yang menjadikan identitas manusianya selalu terbelah dua antara loyalitas pada suku bangsanya atau agamanya. Misalnya, apakah menjadi manusia Indonesia berarti harus bisa tari daerah? Apakah menjadi muslim itu juga mentoleransi budaya lokal namun tetap menjadikan Al Quran dan Hadits sebagai acuan utama? Lalu bagaimana jika masih nari Jaipongan sambil pake jilbab? Melenggak lenggok sambil menutup aurat? Seperti saya pernah melakukannya saat inisiasi jadi mahasiswa baru di Jurusan Antropologi. Meskipun gak punya “pantat” lenggak lenggok sambil menutup aurat juga idealnya tetap tidak boleh sih secara Islami. Sebab hal itu tetap menampilkan seksualitas perempuan. Seksualitas pribadi yang ternyata tak melulu berarti “pantat” atau payudara besar yang dipamerkan. Tapi esksistensi diri.. aktualisasi diri yang seharusnya rahasia (hanya boleh di ruang pribadi) menjadi tontonan umum.
Lalu kemudian di akhir tahun 2017.. dibenturkan lagi dengan pengakuan Trump soal Jerussalem sebagai ibukota Israel. Meskipun sidang PBB pada akhirnya memenangkan Palestina. Identitas bangsa dan agama ini lagi-lagi digoyang… dilengkapi dengan isu seksualitas LGBT.. maka lengkaplah sudah manusia Indonesia diadu domba bukan lagi dari sisi identitas antar kelompok, melainkan dari sisi paling pribadi manusia: seksualitas.
Sumber Gambar pinterest
Di awal tulisan ini RM sebagai perempuan Indonesia mendapatkan penghargaan bergengsi skala internasional sebagai pembuktian bahwa perempuan Indonesia bukan semata-mata dihargai dari sisi seksualitas dalam arti sempit. Perdamaian yang dibawanya ke kancah internasional berkebalikan dari “misi perang dan kekerasan” ala Trump. Ia sebagai perempuan Indonesia menonjolkan sisi keperempuanan yang selayaknya menjadi kebanggaan perempuan dimanapun berada: kelembutan adalah keberanian dan kekuatan perempuan dalam hiruk pikuk bisingnya dunia dengan segala macam isu-isu superioritas menindas mereka yang lemah.
Indonesia berhasil hadir di dunia internasional bahkan melalui sosok perempuan yang menjawab tantangan kekinian: benturan identitas pencipta konflik. Maka seharusnya hal ini menjadi bekal di tahun 2018 jelang Pemilu atau peristiwa besar lain yang mungkin muncul. Bahwa manusia Indonesia tidak boleh menyerah kalah hanya karena sedikit perbedaan. Pun sebagai muslim, bawalah agama Islam yang cinta damai sebagai penepis adu domba karena kepentingan sosial politik sesaat. Bahwa ada kepentingan yang lebih bersifat kekal dibalik semua skenario jahat yang akan menciptakan chaos. Walau dalam kehidupan nyata banyak kisah tragis orang baik nampak selalu kalah.. namun tetap harus kuat berkeyakinan bahwa kebaikan pada akhirnya akan menang. Tidak di dunia pun.. di kampung akhirat yang kekal abadi. (ratih karnelia)