Terinspirasi dari celoteh bocah 4 tahun, anak tertuaku tanya-tanya, “ Ma.. kenapa sih mata kita gak putih semua? Kenapa ada itemnya?” Bener juga ya.. kenapa? Lalu kujawab sekenanya inget pelajaran biologi waktu SMP, “Kalau putih semua malah gak bisa liat.. soalnya bisa lihat karena di mata ada itemnya.” Entah puas atau gak dengan jawabanku.., dia udah gak tanya lagi. Malah aku yang jadi kepikiran: “Mengapa mata kita gak diciptakan putih semua saja? Bukannya lebih bersih?” kalau inget pertama kali liat mata bayi baru lahir, meskipun bola mata mereka ada hitam putihnya.., tetep aja keliatan jernih tuh.. dan dipikir-pikir kalau bola mata hitam ada putihnya malah ternyata gak sehat tuh, gejala katarak.
Sumber Gambar: dagelan
Bisa jadi ini pertanda lain: bahwa pandangan kita bisa jernih bukan karena tak ada “Hitamku” (nyatut judul lagu Andra and the Backbone). Warna mata itu disebutnya iris ya.. warnanya bisa berbeda bukan cuma hitam saja sih sebenernya kan.. Cuma karena ini dalam konteks cari jawaban celotehan bocah.., jadi bahasnya soal iris berwarna hitam.
Lalu ada lagi pertanyaannya, “ Ma.. ma.. kenapa kura-kura gak ada kupingnya? Tapi masih kedengeran?” (Maksudnya: apa kura-kura masih bisa denger walau gak punya kuping). Nah.. kalo yang satu ini bener-bener gak bisa jawab. Cuma bisa bilang, “ Iya ya kenapa ya?” setelah itu dia juga gak tanya lagi. Malah aku yang jadi kepikiran..
Ada gak sih buku filosofi panca indera?
Sumber Gambar: senses
Belum dapet sih.. malah teringat buku lama terpajang di rak buku: sebuah roman metropolitan berjudul “Jazz, Parfum dan Insiden” karya Seno Gumira Ajidarma*. Ini tentang perempuan dengan parfum yang bebeda-beda sekaligus kesukaan tokoh utama pada jazz. Disebutnya jazz sebagai “….hiburan yang pahit, sendu, mengungkit-ungkit rasa duka.” Di bagian lain dibahas bahwa jazz, “ mendengarkan jazz seperti mendengar bahasa percakapan, yang tidak direncanakan.” Juga insiden, berbagai peristiwa yang mengiringi pertemuannya dengan perempuan-perempuan berparfum dan jazz. Ya.. ini soal panca indera penciuman, pendengaran dan seluruh panca indera bila menyangkut insiden. Kebetulan baru-baru ini Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan membuat gebrakan di awal jabatannya dengan tidak memperpanjang ijin Alexis. Walau diberitakan Alexis bayar pajak tinggi, Rp 30 milyar. Namun fakta ini tak membuat Gubernur mundur (entah berbulan-bulan berikutnya, mudah-mudahan tetap teguh pendirian), demi tegaknya aturan. Lawan prostitusi!
Apakah dengan tegaknya aturan ini berarti sudut pandang kita terhadap kehidupan malam menjadi putih semua? Sebagaimana halnya bola mata kita, harusnya hitamnya masih ada saja tak mengapa, bukankah penglihatan kita berfungsi saat masih ada “Hitamku”? Entahlah. Kebijakan pemerintahan terkait dengan kepentingan publik yang lebih luas cakupannya. Berbeda pandangan bila seseorang sedang merenungkan hidupnya sendiri yang so pasti ada “Hitamnya.” Dengan keberadaan dunia malam di Alexis yang menurut info punya karyawan 1000 orang padahal hotel-hotel berbintang 5 saja belum tentu punya karyawan sebanyak itu, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Ibu-ibu khawatir bapak-bapaknya mampir kesana sepulang kantor. Ibu-ibu khawatir masa depan anak-anaknya seandainya dunia malam masih saja dibiarkan ada: entah jadi penjaja atau penikmat (na’udzubillah..). Mau jadi bangsa dan negara seperti apakah nanti Indonesia (Jakarta)? Bukankah kemudian hal ini menjadi keresahan semua pihak, bukan cuma ibu-ibu saja yang galau?
Sumber Gambar: wahdah
Walikota Surabaya yang menutup Gang Dolly, lahan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara telah lebih dulu menutup prostitusi di kotanya pada 19 Juni 2014 silam. Disebabkan beberapa alasan: Pertama, pelanggaran aturan pemerintah Perda Nomor 7 tahun 1999 tentang larangan bangunan dijadikan tempat asusila. Kedua, mengangkat harkat derajat perempuan. Ketiga, menjaga anak-anak generasi mendatang dari dampak adanya prostitusi. Sempat heboh, ada pro kontra di tengah masyarakat yang merasa diuntungkan dengan adanya aktivitas di gang Dolly. Namun hingga kini, Gang Dolly berubah tidak lagi seperti dulu. Sudah banyak PSK yang beralih profesi walau masih ada yang melakukannya sembunyi-sembunyi.
Jika Alexis ditutup sebagaimana Gang Dolly di Surabaya, maka Gubernur baru harus memikirkan konsekuensinya: Pertama, lapangan kerja baru bagi para mantan PSK. Kedua, penanganan tindakan dari “orang-orang” di balik layar keberadaan Alexis bertahan lama selama ini. Ketiga, adanya kemungkinan pemindahan lokalisasi menjadi lebih meluas, bukan di situ saja.
Sepertinya Gubernur DKI Jakarta perlu mencontoh langkah-langkah yang telah diambil oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dalam penanganan prostitusi. Meski sudah maksimal usaha yang dilakukan, bagaimanapun “hitam” itu tidak bisa dihilangkan sama sekali. Sebagaimana bola mata kita. Barangkali hitam itu memang harus ada, supaya: sebagai manusia kita masih bisa melihat hidup dan dunia yang sesungguhnya. Kalau dunia akan selalu ada hitamnya dan kita merasa tidak setuju, barangkali memang sudah saatnya mencari jalan menuju dunia yang sepenuhnya berbeda dengan dunia yang ada saat ini. Lalu jazz.. menutup kisah mereka dengan sendu yang menenangkan.. (ratih karnelia)
*Gumira Ajidarma, Seno. Cetakan Ketiga: 2002. Jazz, Parfum dan Insiden. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.