Mengapa Revolusi Perempuan Dilarang?

Biasanya situs Islami menyediakan resensi buku-buku yang wajib dibaca sebagai muslim. Tentunya untuk menambah pengetahuan soal Islam, harapannya akan memperkuat nilai keimanan dan ketakwaan sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Entah harapan itu sudah terwujud atau belum. Bagaimananpun juga, kami turut apresiasi jihad menyebarkan nilai-nilai Islami tersebut walau pada akhirnya para Ustadz lulusan televisi hanya akan sekedar pamer betapa banyaknya harta mereka atau nikmatnya berpoligami dengan istri-istri yang jauh lebih muda usianya.

Sekedar sharing  sebuah buku yang barangkali jauh dari kesan Islami. Malahan mungkin dianggap terlarang karena ini buku filosofi perempuan Perancis, tahun 1949 karya eksistensialis Simone de Beauvoir. Vatikan menempatkan buku ini di Daftar Buku Terlarang. Namun menjadi revolusioner  pada masanya karena pada waktu itu belum pernah ada seorang perempuan menuliskan pemikirannya, mengartikan jati diri lalu memberi solusi agar para perempuan dapat terbebas dari belenggu anggapan masyarakat Perancis saat itu yang menganggap perempuan sebagai “Second Sex” atau dengan kata lain sebagai manusia kelas dua. Judul buku yang berjudul sama dengan anggapan masyarakat Perancis saat itu, terbit menjadi dua jilid. Jilid pertama belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan jilid kedua sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Sumber Gambar: goodreads

Apa yang menjadikan buku ini revolusioner bahkan terlarang dibaca oleh komunitas tertentu? Ada beberapa kemungkinan.

Pertama, dalam jilid pertama yang berbahasa Inggris dominan istilah-istilah biologis dan kedokteran, ada temuan yang menarik: sel telur perempuan yang selama ini dianggap pasif atau “nrimo” sel sperma yang datang dalam proses pembuahan, ternyata justru reaktif. Sel telur ini tidak pasif sama sekali. Ada ‘kehidupan’ disitu, ada ‘proses memilih’ sel sperma sebelum pembuahan itu terjadi hingga akhirnya menjadi zygot. Pun pada saat zygot itu terbentuk, hormon estrogen yang ada dalam sel telur perempuan lenyap. Begitupun hormon testosteron yang ada dalam sel sperma hilang begitu saja. Maka kedua sel ini menjadi sebuah kesatuan tanpa bisa dijelaskan secara medis hormon apa yang ada saat itu? Sebagai muslim, saya percaya ada campur tangan Allah SWT disana.., Dia yang tidak seperti makhluk. Bukan perempuan, bukan laki-laki.., bukan manusia, bukan binatang, bukan tumbuhan… just nothing.. justru setelah nothing  ini muncullah kehidupan. Menurut saya justru bagian inilah yang akan menambah keimanan dan ketakwaan. Bahwa kehidupan muncul dengan meleburkan ego perempuan dan laki-laki. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.. tak ada yang lebih superior daripada lainnya.

Kedua,  de Beauvoir banyak menulis pengalaman-pengalaman perempuan dari setiap tahap kehidupannya: masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa muda, dan masa dewasa tua. Kebanyakan soal keluhan betapa ‘ribetnya’ menjadi perempuan. Betapa ‘menderitanya’ hidup sebagai perempuan. Memang agak lebay  sewaktu bagian ini dibaca. Sehingga pada masanya ia mendapat kritik tajam dari para pembaca (khususnya laki-laki) bahwa buku ini bukanlah realita, tapi sekedar melebih-lebihkan keadaan yang sebenarnya atau hiperbola banget. Justru itulah hal yang mengguncangkan para perempuan hingga tersadarkan posisinya. Para perempuan saat itu justru banyak yang memberikan dukungan agar buku ini dibaca setiap perempuan, bahkan kalau perlu mendunia. Bagian ini dapat membuat seorang perempuan membenci jati dirinya sebagai perempuan atau menghindarkan diri dari institusi yang menyebabkannya menjadi Second Sex: pernikahan. Sebab dengan menikah itu perempuan seolah tidak punya pilihan, harus mengurus anak, harus begini begitu… hal yang menjadikan proses alamiah perempuan sebagai seorang anak, seorang pribadi, istri dan ibu terdengar tidak menyenangkan. Seolah proses pencarian jati diri itu begitu sulit karena banyak campur tangan lelaki dalam kehidupan perempuan itu. Yup.. menjadi seorang pribadi di tengah dunia ‘lelaki’ sungguh tidak mudah: ada banyak tekanan bahkan seringkali harus memilih di saat pilihan itu tidak ada.

Sumber Gambar: abdillah

Ketiga, solusinya? de Beauvoir memberikan jalan keluar bagi para perempuan yang merasa terbelenggu seperti itu untuk menjadi jati diri bebas merdeka yaitu dengan beberapa cara melalui beberapa profesi. Perempuan relijius dalam profesi apapun dianggap mampu membebaskan dirinya karena keberadaan ‘Tuhan’ menjadi tujuan tertinggi dari ego perempuan atau ego laki-laki itu sendiri. Sementara itu bagi perempuan yang tidak relijius, profesi penulis/ kaum intelektual, penyanyi bahkan –maaf- pelacur dianjurkannya kalau ingin bebas merdeka. Nah inilah mungkin yang menjadikan buku ini terlarang. Tentu sebagai muslimah kita bisa setuju dengan poin pertama, jadikan ‘Tuhan’ sebagai tujuan bersama dalam kehidupan keseharian. Namun profesi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami tentu tidak patut kita ikuti.

Menurut saya, buku ini justru menjadi wajib bagi orang beriman. Sebab orang beriman dan bertakwa akan mampu bertahan, tidak goyah hanya karena pemikiran seseorang di Perancis pula. Negara yang bahasanya saja memisahkan antara kata benda feminin dan kata benda maskulin. Sebagai muslim di Indonesia yang bahasanya tidak membedakan ‘benda feminin’ dan ‘benda maskulin’ tentu tekanan di tengah dunia lelaki tidak terlalu besar, bukan? Sarung yang bentuknya seperti rok saja dikenakan para prianya. So don’t worry be happy (ratih karnelia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *