Adakah orang yang pekerjaanya merenung? Ya ada. Lalu mereka disebut filsuf. Kalau orang biasa lebih tepat disebut tukang curhat. Bisa jadi curhatan itu sekedar ingin mengeluarkan unek-unek yang tak selesai hanya dengan diceritakan di dalam buku harian. Sebab takkan ada perubahan dalam diri ataupun orang lain. Semua hanya sekedar menjadi kata-kata yang memenuhi lembaran dalam buku. Saya mulai menuangkan pikiran dalam buku harian sejak bisa menulis. Walau isinya cuma kegiatan hari itu di sekolah atau catatan pemasukan uang jajan sebesar Rp 250 beserta pengeluarannya. Semakin bertambah usia, tentu saja isinya berkembang. Bukan sekedar cerita kegiatan seharai-hari, tapi lalu soal-soal yang lebih buat penasaran, misalnya soal kematian: meninggalnya Nenek yang disusul kematian Mama di usia muda. Soal kehidupan: taksir menaksir, dilema memilih pasangan hidup, memilih jurusan kuliah, memilih pekerjaan… semua soal dilema pilihan hidup.
Penghargaan pertama untuk tulisanku sewaktu SMA. Diantara ratusan siswa, tulisanku terpilih jadi esai pembuka modul kelas sosial yang dipergunakan intern sekolah di Bandung. Sempat juga kirim-kirim ke media, tapi tak pernah ada yang dimuat. Sering juga ikut lomba tulis menulis, tak pernah menang. Lalu kupikir, mungkin segmen tulisanku ini sebegitu spesifiknya. Berlanjut hingga kuliah, masih juga senang kirim tulisan, puisi, cerpen ke media. Tak pernah ada yang dimuat atau menang juga.. hiks. Cuma lagi-lagi penghargaan itu datang dari guru sendiri. Sebab suka nulis juga jadi ikut media kampus tingkat jurusan dan fakultas. Selepas itu, kesampaian juga kerja di media online bertema kuliner (2010) dan media cetak tabloid kampanye pilgub se-Indonesia (2012-2013). Kalau ada lomba-lomba tulisan, sudah tidak ikut lagi. Mulai hilang kepercayaan dirinya. Ya.. sudahlah Mak.. lebih baik menulis di mediamu sendiri. Isi tulisan pun suka-suka. Gak ada urusan dengan redaksi, walau waktu kerja di media cetak itu jadi bagian dari redaksi, but kerja dengan terlalu banyak kepala bikin pusing. Ide awalnya A.. setelah diskusi panjang lebar dengan banyak orang itu, hasilnya jadi Z. Melenceng jauh terkadang dari yang kumaksud. Walau di media itu lebih banyak kebebasannya sih..daripada seandainya kerja di media lain yang jauh lebih mapan.
Sewaktu ada teman kasih info ada program “Tangguh Award” dari tempatnya kerja, tertarik untuk ikutan. Cuma sayangnya setelah ngobrol dengan warga sekitar dan saya amati juga, di kompleks perumahan ini relatif aman dari bencana alam. Justru lebih banyak bencana-bencana yang sifatnya sosial kemasyarakatan. Pertama, bencana kemalingan karena lokasi perumahan yang berada di tengah-tengah perkampungan warga asli dengan kondisi tanpa benteng di area belakang perumahan. Pihak security juga hanya beberapa orang jadi penjagaan kurang maksimal. Warga mengantisipasi peristiwa kemalingan ini dengan memasang pagar walau konsep awal perumahan ini tadinya tak berpagar. Jadi banyak renovasi yang terjadi disini. Hampir 3 tahun saya tinggal, selalu ada rumah yang direnovasi nyaris tanpa jeda dari satu rumah ke rumah lainnya. Pihak RT pun tidak bisa mengatur warganya soal renovasi karena terkait soal dana pribadi warga. Selain itu, faktor bangunan rumah yang memang bentuk awalnya dirasa kurang cukup besar. Keuntungannya, ada penambahan nilai bagi rumah-rumah yang direnovasi ini. Otomatis akan menambah harga jual rumah-rumah lain di kompleks ini.
Sumber Gambar: CCTV warga Blok C
Selain pagar, beberapa warga memelihara anjing atau memasang CCTV di depan dan belakang rumah. Rekaman CCTV ini dianggap efektif sebagai alat bukti seandainya terjadi kemalingan. Beberapa kali terjadi pencurian rumah, awalanya warga lapor polisi. Tapi seiring waktu, warga tak lagi melaporkan pencurian ini. Masalahnya, ada pungli yang dirasa merugikan. Harapan mereka tertangkapnya pencuri juga tidak tercapai. Ada juga pencuri yang tertangkap. Itu hasil kerja sama warga perumahan dengan warga asli sekitar perkampungan, baru setelah itu diserahkan ke polisi. Aksi mandiri seperti ini menghindarkan warga dari pungli di kepolisian oleh oknum polisi.
Pelaku Kekerasan Pada Bayi 4 Bulan Warga Blok D
Kedua, tindak kekerasan yang dilakukan pengasuh pada anak asuhnya. Baru ada satu kasus yang di-share warga sebagai korban. Kabarnya sudah melapor ke Polsek setempat namun laporan ditolak karena alasan tidak ada unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak). Laporan harus ditujukan ke Cibinong (ada unit PPA) yang jaraknya berkisar 8 km dari BD. Solusinya, foto pelaku disebar ke grup-grup whatsapp. Agar warga lain tidak mempekerjakan orang yang sama. Pelaku pun tidak diproses hukum ke polisi, hanya menandatangani surat pernyataan di atas materai.
Ketiga, hutang piutang. Ini adalah salah satu resiko perumahan dengan populasi ibu rumah tangga yang cukup banyak, hampir separuhnya bekerja di dalam rumah. Jadi ibu-ibu ini membuka usaha mandiri dari dalam rumah yang cukup bagus potensinya. Sebab jarak perumahan ke ruko cukup jauh, bisa ditempuh 10 menit menggunakan sepeda motor. Tentu lebih lama kalau berjalan kaki. Disertai diskon dan rasa saling percaya yang tinggi diantara ibu-ibu ini membuat usaha bisa berjalan. Maklumlah, ibu-ibu suka banyak pikiran, kadang ada kembalian yang lupa dikembalikan, ada bayaran yang kurang dibayarkan, menyebabkan diantara mereka punya hutang piutang. Untungnya warga saling bisa terbuka soal ini, jadi minim menyebabkan konflik kecuali ada saja yang merasa tersinggung kalau ditagih hutangnya. Harus ingat waktu, tempat, orangnya siapa dan moodnya sedang bagaimana. Begitulah dinamika menjadi ibu-ibu pengusaha dan ibu-ibu tukang shopping.
Bencana sosial kemasyarakatan lainnya yang keempat, perubahan drastis sosial ekonomi seseorang juga menjadi momok di tengah masyarakat. Ada yang berpikir positif, ada juga yang cuma bisa mengira-ngira darimana asal muasal kekayaan dadakan itu. Walau tidak selalu jadi topik pembicaraan utama. Malah ingin dapat inspirasi seandainya para OKB ini menceritakan pengalaman mereka. So pasti diikuti langkah-langkahnya oleh banyak orang yang ingin kaya juga. Hal ini lebih memotivasi secara positif ketimbang melemahkan warga dalam kompetisi tak kasat mata.
Demikianlah renungan serta hasil obrolan seorang perempuan yang tak ingin disebut pengangguran ini, sebab pekerjaannya memang merenung lalu menuliskannya selain mengurus rumah tangga dan mengurus usaha mandiri berupa jual beli barang dan jasa. Pengangguran tidak menghasilkan uang dari rumah, bukan?! (ratih karnelia)