The death of expertise* bikin orang awam bersorak! Barangkali inilah satu-satunya buku yang menyenangkan bagi mereka yang tidak dianggap ahli walau berpendidikan tinggi. Sebab keberadaan sosmed, setiap orang dapat menghancurleburkan kembali hipotesa seorang ahli setiap saat. Tidak hanya dalam bidang sosial politik sebagaimana dicontohkan dalam buku ini, prediksi para ahli saat pemilihan presiden AS beberapa waktu yang lalu. Bahkan ilmu keteknikan pun yang jelas-jelas ilmu pasti, setiap saat akan mengalami goncangan dari serangan para awam di berbagai belahan dunia karena pengalaman-pengalaman mereka dalam “realita”.
Sumber Gambar: rumahangin
Yup! Kehadiran sosmed seolah memutarbalikkan dunia mapan yang selama ini menumpu ilmu pengetahuan. Setidaknya hal itu sedang terjadi di AS dengan segala bentuk kemajuannya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tentu ada persamaan meski tak dapat disamaratakan sebab belum seluruh masyarakat Indonesia aktif bersosmed serta beropini tentang keadaan sekitarnya. Meski waktu membuktikan pengguna sosmed di Indonesia semakin bertambah jutaan setiap tahunnya. Demikian hasil seminar digital di Jakarta yang diadakan sebuah organisasi ternama. Hal yang membedakan antara AS dan Indonesia adalah dari soal keyakinan awam itu sendiri. Jika awam di AS lebih banyak menitikberatkan pada logika mereka saat menganalisis sebuah hipotesa yang dishare ahli, maka awam di Indonesia tidak hanya memakai logika tapi juga ada unsur kepercayaan sesuai daerah masing-masing. Maka sebuah hipotesa (baca: status, biar kekinian) menjadi semakin kabur kebenarannya bukan sekedar tidak sesuai dengan “logika” awam tapi juga karena unsur keyakinan sebelumnya yang begitu lekat daripada ilmu pengetahuan. Istilah gampangnya, orang awam udah salah malah lebih ngotot dan nyolot daripada mereka yang ahli. Sebutan ahli ini kan juga bukan sembarang tempel diakui komunitasnya dan bahkan orang lain di luar komunitas ahli itu.., melainkan karena ada proses pencarian data dan fakta di lapangan. Serta referensi yang dijadikan pegangan setelah diuji puluhan bahkan ratusan kali sepanjang ilmu itu ada. Nah.. seringkali opini awam menjadi tak terkalahkan karena mereka menang dari segi jumlah. Sementara itu, ahli di Indonesia yang jumlahnya 1: sekian juta orang itu kalah dari segi kuantitas meski menang dari segi kualitas. Terkadang miris juga melihat kenyataan bahwa ahli tidak mendapat ruang di televisi, misalnya. Sebab ternyata si awam yang banyak followernya di sosmed tiba-tiba saja menjadi dianggap berhak mengisi porsi yang bukan haknya. Contoh kasus ANF. “Hipotesa” dia seolah menjadi teori karena banyak yang like statusnya. Aduh… sementara para ahli yang sibuk mengurus umat/ mahasiswa/ masyarakat di dunia nyata seolah tak punya teori untuk dibuktikan malah mendapat caci maki seperti tokoh parenting, Elly Risman karena tidak setuju kedatangan girlsband asal Korea.
Sumber Gambar: sasnew
Padahal, siapa Afi? Siapa Elly? Keduanya menjadi bertukar peran awam ahli, ahli awam karena sosmed membuat dunia menjadi semakin terbalik… na’udzubillah…
Dalam dunia sosial (terutama antropologi) dikenal pendekatan emic dan etic. Emic, the insider view, is focused on culturally-bound data and gets at how people within one culture think, perceive, and understand their world. This approach allows for a description that is meaningful to the person within that culture. Etic, on the other hand, is based on generalizations and observations made from the researcher (anthropologist, market researcher, etc.) that are assumed to be applied across cultures. This is where we get the insider and outsider distinction. Perbedaaan antara emic dan etic adalah melihat budaya dari sudut pandang orang dalam atau orang luar. Emic adalah pengertian pemilik budaya itu dalam berpikir, mengartikan dan memahami dunia mereka. Pendekatan ini mampu mendeskripsikan hal-hal bermakna bagi orang per orang dalam budaya tersebut. Sementara itu, etic melihat budaya secara general dari sudut pandang orang luar sebagai peneliti, sehingga pemahaman budaya ini diaplikasikan dengan membandingkan kebudayaan pemilik budaya dengan kebudayaan peneliti.
Namun, dunia sosial media tidak mengenal cara berpikir konsisten atau runtut sesuai dengan pedoman keilmuan tertentu. Status-status bertebaran tak tentu arah, berdasarkan peristiwa terkini yang dikomentari sesuka hati, seringkali tanpa basic keilmuan tertentu. Sekedar mengomentari sesuai pikiran dan perasaan saat itu. Lalu saat peristiwa berganti, komentar yang muncul pun berubah. Bisa saja peristiwanya sama, tapi karena tokoh yang mengalaminya berbeda, pengguna sosmed akan mengomentari dengan berbeda pula, lebih emosional atau lebih logis tergantung dari suka atau tidak sukanya pada tokoh yang mengalami peristiwa itu. Terutama tokoh-tokoh sosial politik lebih menimbulkan kontroversi di dunia sosmed daripada selebritis serta mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah saat ini. Maka pengguna sosial media diingatkan untuk jeli melihat perbedaan antara fakta dengan berita-berita hoax. (ratih karnelia)
*Nichols, Tom. 2017. THE DEATH OF EXPERTISE: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters . Oxford: Oxford University Press.