Pernah dituduh ber-KKN ria? Pernah dicurigai sebagai bagian dari keluarga koruptor? Saya pernah. Di masa remaja pula. Rasanya? Hm… asoy-asoy asem gitulah. Entah sebab apa tuduhan itu muncul. Sebab kedua orang tua pekerjaannya bukan pengusaha? Itu. Sebab punya rumah besar, kendaraan banyak yang bagus-bagus pada masanya (cuma dua sih)? Bisa jadi itu juga. Sebab hampir seabad berurusan di lembaga yang terkenal korup? Bisa jadi. Lalu, saat saya curhat pada ortu soal tuduhan itu, jawaban mereka bikin adem. Jelasnya, harta itu bukan hasil KKN. Penjelasannya darimana biar itu pertanggungjawaban di akhirat, so pasti halal.
Sumber Gambar primasusetya
Rejeki. Bukan soal uangnya yang gak bisa habis, tapi usahanya yang terus menerus. Sebagai muslim, soal rejeki, bukan cuma usahanya yang terus menerus, tapi karena ada campur tangan Tuhan, karunia Allah SWT. QS. Fatir surat ke- 35 ayat 2. Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahanNya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.*
Tulisan ini bukan untuk menafsirkan ayat tersebut, melainkan renungan Ramadhan soal rejeki yang didukung ayat ini. Teringat juga ajaran seorang Ulama dalam dakwahnya pada forum Shaksiyyah Islamiyyah. Bahwa rejeki setiap manusia selain sudah diatur bagiannya, juga tidak akan luput hingga hari kematian kita. Ada rejeki yang diperoleh karena usaha. Ada juga rejeki yang datang dari arah yang tiada disangka-sangka. Meskipun banyak orang menghalangi, kalau sudah rejeki tidak akan kemana, begitulah simpelnya. Begitupun dengan musibah yang terjadi menimpa diri kita. Walau sudah berusaha melindungi diri sendiri, bila memang harus terjadi, takkan ada yang dapat mencegahnya. Dengan pemikiran seperti ini, tentu sebagai hamba, kita takkan mengeluh apalagi mengusili rejeki orang lain. Pun kalau musibah datang tidak lantas meratapi musibah itu.
Namun beda soal bila urusan rejeki ini menyangkut pejabat publik. Tentu rakyat punya kepentingan untuk mengkritisi sebab ada kepentingan publik terkait dengan ‘rejeki’ pejabat publik. Belakangan ini ramai kasus Amien Rais yang menerima sumbangan Rp 600 juta. Jaksa KPK menyebut mantan Ketua Umum PAN menerima dana 600 juta dari pengadaan alkes untuk mengantisipasi Kejadian Luar Biasa (KLB) 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan demikian diberitakan. Bila berita itu adalah fakta, apabila AR waktu itu sebagai seorang pejabat Publik ataupun ketua dewan pembina atau penasehat sebuah partai tentu menerima uang dari sumber yang tidak jelas baik dalam jumlah besar ataupun kecil adalah gratifikasi bagian dari Korupsi. Kesalahan besar , Dosa Sosial, Sangat Haram. Akan tetapi hukum pemberian akan menjadi halal apabila yang bersangkutan bukan sebagai pejabat atau partai yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan pekerjaan publik, serta tentunya si penerima juga tidak mengetahui dari mana sumber donasi itu berasal.
Mengkritisi pejabat berharta melimpah secara tidak wajar Ini bukan soal iri dengki. Sebab Allah SWT dengan tegas melarang hamba-Nya untuk iri dengki pada karunia-Nya yang diberikan pada sebagian hamba-Nya. Melainkan pembelaan terhadap hak-hak warga negara yang sudah terdzolimi karena dirampas, dicuri dan dirampok.
Nah… berhubung di awal saya sudah ngaku pernah dituduh itu tidak enak walau faktanya tidak benar, pada akhirnya perlulah menjelaskan mengklarifikasi panjang lebar agar tidak terjadi fitnah . Meskipun pertanggungjawaban hidup itu pada akhirnya hanya untuk Allah SWT tetaplah sebagai pihak yang tertuduh berkewajiban memberikan hak jawabnya. Begitupun dengan AR walau merasa namanya tercemar karena disebut dalam sidang tipikor, lalu ingin menemui para pimpinan KPK untuk beri penjelasan.., sudahlah tak usah berpanjang lebar beri penjelasan.. pak .. biar saja rakyat yang menilai bahwa orang yang menjabat publik tidak sepantasnya menerima sumbangan dari pihak manapun, Ngerti ora Pak?.. Allah ora sare..
Wallahu’alam..
(NoNa)
*Soal tafsir, mari serahkan pada ahlinya.