Soal Kartini (Lagi lagi)

Perdebatan layak atau tidaknya Kartini menjadi Pahlawan Nasional Indonesia ramai di sosmed, bahkan ada message whatsapp yang mempertanyakan status pahlawan itu untuk Indonesia atau Belanda? Lalu membandingkan Kartini dengan tokoh-tokoh perempuan dari daerah lain, misalnya Cut Nyak Dien (Aceh) dan Dewi Sartika (Bandung). Kedua tokoh ini biasanya menjadi pembanding Kartini malah dianggap lebih berjasa bagi perempuan Indonesia karena Cut Nyak Dien anti Belanda, sikapnya tegas. Sedangkan Dewi Sartika punya aksi nyata dengan membangun sekolah Kautamaan Istri dengan biaya pribadi, mengajar selalu on time  setiap jam 6 pagi. Ditunggu murid-muridnya.

Sumber Gambar biografiku

Entah siapa yang memulai pertanyaan mengapa dia menjadi pahlawan nasional lalu lainnya tidak? Malah terkesan ada rasa iri dengki pada posisi Kartini yang menak, menikah dengan Bupati, suku Jawa pula. Suku Jawa yang sejak awal mula Negara ini terbentuk, selalu mendapat posisi presiden. Orang nomer satu di negeri ini. Lalu seolah-olah suku lainnya tak layak menjadi nomer satu? Ada lagi komentar lebih sadis, tukang curhat sama bule kok malah jadi pahlawan?

Pertama, setiap perubahan, pergerakan bangsa bermula dari tulisan. Tulisan itu adalah ide yang mewujud entah setahun, lima tahun, sepuluh tahun kemudian sejak ide itu dituangkan. Soekarno memulai kemerdekaan Indonesia awalnya juga dari tulisan. Tak boleh anggap remeh nilai sebuah tulisan apalagi itu ‘hanya’ ditulis oleh perempuan yang dipingit. Justru tulisanlah yang membebaskan Kartini dari belenggu situasi saat itu. Ia juga mendorong Kyai Saleh untuk menerjemahkan Al Quran serta menuliskannya dalam bahasa dan tulisan Jawa karena saat itu Belanda melarang muslim mempelajari Al Quran. Hanya 13 juz, karena Kyai Saleh keburu dipanggil Allah SWT. Jika saja Kartini berumur panjang pun, diduga ia bukan hanya mengajarkan baca tulis pada perempuan-perempuan lain di jamannya, bahkan membuka hati dan pikiran mereka dengan mengajarkan tafsir Al Quran. Ia akan memperjelas makna. Bahwa perempuan dan laki-laki posisinya sama-sama diakui sebagai manusia di hadapan Tuhan, Allah SWT. Perempuan pun boleh bertanya, berpendapat, dan beraksi nyata juga di masyarakat.

Kedua, perbedaan karakter Kartini, Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika jangan membuatnya terdiskriminasi hanya karena salah satu tidak berperilaku seragam. Tentu saja mereka berbeda karena lingkungan, keluarga, dan keyakinan yang berproses. Maka outputnya pun berbeda. Cut Nyak Dien angkat senjata? Bapak dan suaminya pejuang, langsung berperang. Dewi Sartika bangun sekolah, minim menerbitkan tulisan? Dewi Sartika sadar akan peran dirinya sebagai guru, suaminya juga guru. Punya modal untuk bangun sekolah, punya jaringan luas, bisa melobi pemimpin saat itu untuk membolehkannya mengajar di aula balaikota saat itu saat sekolah Kautamaan Istri belum rampung. Kartini, kalangan menengah yang punya akses ke luar negeri. Justru surat menyurat itu ‘menerbangkan’ idenya melintasi pulau dan lautan. Meski tubuhnya tetap berdiam diri. Idenya itulah justru diwujudkan. Bukan olehnya. Diikuti puluhan, ratusan, ribuan perempuan lain setelahnya. Idenya adalah memerdekakan diri sendiri dari rasa takut. Takut untuk menentang budaya yang membelenggu. Pencerahannya diperoleh dari belajar tafsir bersama Kyai Saleh. Ny. Abendanon tidak tahu bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang terinspirasi dari Al Quran QS Al Baqarah ayat 257.

Kalau merujuk pada tokoh-tokoh terdekat Rasulullah, simak saja kisah Abu Bakar dan Umar. Karakter dan kebiasaan mereka bertolak belakang. Abu Bakar berperangai lembut, punya kebiasaan shalat sambil menangis karena ingat dosa-dosanya di masa lalu. Sementara itu Umar berperangai keras, punya kebiasaan ‘melabrak’ penentang Rasulullah. Lalu apakah karena perbedaan itu, Abu Bakar dan Umar tidak layak disebut sebagai sahabat Rasulullah?

Ketiga, belajarlah melihat sisi positif dari orang lain. Cut Nyak Dien walau perempuan bisa berangasan itu bagus karena sikapnya begitu perlu untuk terjun ke medan perang. Angkat senjata. Dewi Sartika lebih mampu mengajar daripada menulis, ya karena talentanya lebih bagus mengajar karena lembut sekaligus tegas, disiplin soal waktu juga. Kartini, lebih suka menulis karena ada kesedihan yang tak bisa dia ungkapkan pada orang lain selain melalui tulisan. Tabu. Lebih cerdas dalam hal bahasa. Literatur bacaannya luas meski lingkungannya saat itu tertutup.   

Kartini Pahlawan Nasional Indonesia, tak usah diragukan, tak usah diperdebatkan, tak usah juga didengkii. Belajarlah melihat kebaikan dan kelebihan orang lain. Kalau mau gelar pahlawan, biar SPI saja beri gelar pahlawan pada semua perempuan Indonesia berprestasi. Walau prestasinya baru bisa bangun pagi. Tabik! (ratih karnelia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *