Refleksi Akhir Tahun 2016

Sepanjang tahun 2016 banyak peristiwa bersejarah yang takkan mungkin lagi terulang di tahun-tahun berikutnya. Momen-momen mengharukan yang berpengaruh pada diri kita sebagai seorang pribadi, bagian dari sebuah bangsa. Apapun momen itu, menurut saya tak bolehlah menjadikan seseorang merasa tertolak, terasing, kalah dan tak diinginkan.  Apakah hal yang menjadi lem perekat kita sebagai sebuah bangsa Indonesia? Lebih penting manakah menjadi bagian dari bangsa Indonesia atau bagian dari agama tertentu?

            Beberapa peristiwa yang dialami saya sebagai pribadi sambil mengamati berbagai peristiwa nasional, membuat sadar bahwa ada harapan pada masa depan anak-anak. Bahwa anak-anakku di masa depan takkan mungkin bisa hidup sendiri. Ia pasti bergaul dengan berbagai jenis manusia, berbeda secara kultur, sosial ekonomi. Mengingat, batasan negara, agama, apapun label yang menjadi masalah saat ini, di masa depan pasti akan semakin lenyap. Lalu apakah lem perekat yang menjadikan mereka bisa bertahan hidup nantinya? Sebagai muslim, saya percaya nilai-nilai ajaran Islam yang baik akan menjadi bekal utama bagi mereka. Nilai ajaran yang baik akan membuat mereka tak goyah walau tinggal dimanapun, bergaul dengan siapapun. Tak masalah soal berbagai perbedaan yang menjadi masalah saat ini. Tentu, nilai-nilai ajaran yang baik akan menghargai bangsa-bangsa dan agama-agama lain.

Sumber Gambar: idntimes

            Saya pribadi percaya, bahwa Pancasila adalah intisari nilai-nilai ajaran Islam yang dapat hidup, berdenyut di tanah air Indonesia. Bahwa ada Tuhan Yang Maha Esa yang harus dipercayai; kemanusiaan yang harus dihargai; kesatuan ditengah-tengah perbedaan agar setiap orang tak merasa tertolak; hak untuk berbicara bagi setiap orang dari berbagai kalangan; dan keadilan sosial yang merata.

            Namun sepertinya, negara masih juga kurang percaya diri menghadapi muslim yang berusaha menjalankan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh kebaikan. Terbukti dengan adanya penyerangan aparat kepolisian pada para terduga teroris yang langsung ditembak mati. Masyarakat perlu tahu bukti-bukti kuat yang menyebabkan para terduga teroris layak ditembak mati. Jangan sampai ada dugaan bahwa penampilan dan perilaku keseharian yang sedikit berbeda menjadi satu-satunya alasan mereka menjadi martir, kambing hitam atas dugaan makar atau terror pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan sampai, muslim-muslim lain merasa terintimidasi oleh sebab penampilan dan perilaku yang hampir sama dengan para terduga teroris. Media mainstream memberitakan seolah-olah para terduga teroris layak mati hanya karena penampilan mereka berjenggot, celana ngatung, kurang bergaul dengan masyarakat sekitar, suka ngaji malam-malam, punya golok, dan perilaku ekstrem dari doyan maksiat jadi berguru pada ustadz yang sholeh. Apakah indikator-indikator ini sajakah yang menjadi alasan polisi? Pasti ada banyak hal lain. Mengapa polisi tidak menginformasikan pada masyarakat? Ataukah media mainstream yang sengaja membuat framing tidak adil pada pemberitaan seputar muslim dan Islam? Seolah-olah teroris adalah Islam dan Islam adalah teroris. Padahal peristiwa 411 dan 212 membuktikan bahwa Islam itu damai. Pada saat ada ketidaksetujuan atas perilaku Ahok, masih bisa bersikap lunak. Meskipun dalam keyakinannya, soal penistaan agama adalah sesuatu yang sakral, saklek, eksekusi wajib dilaksanakan saat itu juga. Masih untung Buni Yani ‘cuma’ upload video. Kalau tindakannya ekstrem, bisa saja BY langsung hajar di tempat. Sebagaimana aparat kepolisian langsung tembak mati para TERDUGA teroris. Kalau bicara keadilan, apakah ini adil? Orang yang sudah jelas-jelas menistakan agama Islam masih diberi toleransi, didemo, diadili, belum ditahan, masih bisa berkampanye, sementara para TERDUGA teroris berdasarkan indikator-indikator yang lemah, langsung ditembak mati di tempat? Muslim juga punya hak jawab, hak untuk diadili. Masihkah NKRI disebut negara hukum? Barangkali ada pertimbangan bahwa Ahok adalah seorang Gubernur yang berjasa banyak dibandingkan para TERDUGA teroris yang ‘hanya’ tukang ojeg. Pihak kepolisian dan media mainstream harusnya fair dalam memberitakan sebuah peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Justru dengan tindakan seperti ini malah meresahkan masyarakat, terutama muslim dengan ciri-ciri tersebut.

Sumber Gambar: okezone

            Muslim yang baik pun tak pernah mempermasalahkan NKRI. Mereka mempermasalahkan soal hukum. Hukum Allah yang seharusnya ditegakkan agar NKRI ini semakin damai dan tentram. Pro konstitusi tanpa mempertimbangkan suara muslim sebagai mayoritas, hukum menjadi tak punya tempat di hati rakyat. Buat apa memperjuangkan hukum jika suara mayoritas saja diabaikan. Apalagi suara minoritas?  Apakah jika pendukung Ahok yang tersulut amarah itu lebih membahayakan NKRI daripada jika muslim yang tersulut emosi?!

            Sedih rasanya jika suatu saat, anak-anakku tinggal di tengah-tengah bangsa yang tak bisa saling menghargai. Di saat konstitusi malah jadi barang jualan media mainstream demi rating semata, tanpa mempertimbangkan dampak pada anak-anak, terutama masa depan mereka. Maukah kita memiliki generasi yang merasa tertolak, terasing, kalah dan tak diinginkan?! Penghargaan pada bangsa ini, generasi yang akan datang harus dimulai dari sikap aparat hukum (bukan cuma kepolisian) yang berhenti memberi CAP pada kesalahan orang atau sekelompok orang. Perbuatannya bisa salah sebagai manusia. Namun bukan berarti berhak untuk dibinasakan segera. ANTI TEMBAK MATI DI TEMPAT DISKRIMINATIF! (ratih karnelia)

[TheChamp-FB-Comments style="background-color:#fff;"]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *