Mengapa harus ikut demo 212? Alasan agama bisa jadi menjadi alasan utama namun tujuan tulisan ini bukan untuk menyinggung soal SARA. Lebih pada refleksi pribadi, apakah demo 212 dengan format acara yang berbeda dari sebelumnya itu akan memberi pengaruh pada Indonesia yang kita cintai ini? Soal penegakkan hukum ya.. sehubungan dengan hal-hal lain di luar kasus Ahok, kami hanya ingin sharing betapa menegakkan hukum di Indonesia bukan perkara mudah. Soal kebiasaan, budaya dan ego sebuah bangsa. Berkaitan bentuk Fund Raising dari lembaga berhubungan dengan soal administrasi layanan publik, maka keikutsertaan demo 212 adalah juga sebagai wujud kekecewaan sekaligus harapan pada pelayanan publik yang lebih baik, terutama bagi Warga Negara Indonesia yang sedang berada di luar negeri. Selama kurang lebih 3 tahun ini, kami menggeluti advokasi bidang jasa pelayanan di kantor kepolisian. Ada lika liku suka duka dalam pengurusan dokumen, terutama Kami, sebagai Ibu mengadvokasi ini sambil tetap mengurus anak. Bagaimanapun, Kami berterima kasih untuk segala kemudahan yang diberikan serta kerjasama pegawai pelayanan masyarakat di kepolisian.
Beberapa waktu lalu, headline surat kabar nasional digembar-gemborkan dengan operasi tangkap tangan di sebuah kementrian. Bahkan Presiden Jokowi pun hadir, turut mengawal proses OPP (Operasi Pemberantasan Pungli). Kami pun turut bergembira. Biaya-biaya operasional yang membengkak dapat berkurang banyak.
Namun, sayangnya, berdasarkan pengalaman pribadi, adanya OPP malah dijadikan alasan petugas untuk mempersulit pengurusan dokumen Warga Negara Indonesia yang sedang berada di luar negeri. WNI harus hadir hanya untuk mengurus selembar SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang diperlukan untuk keperluan tinggal di luar negeri. Informasi dari oknum petugas loket bahwa fasilitas online yang seringkali tidak berfungsi optimal hanya untuk registrasi, dokumen asli tetap harus dibawa untuk diperlihatkan. Bagi mereka yang berada di luar negeri, hal ini belum menjadi solusi yang tepat apalagi bagi mereka yang tidak punya keluarga yang bisa urus di Indonesia. Sementara itu, kami yang mengadvokasi jasa pengurusan dokumen sedapat mungkin membantu mereka dengan solusi, sesuai aturan yang berlaku sebelumnya bahwa sidik jari bisa diambil di tempat untuk kemudian dirumuskan di Indonesia.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah:
Pertama, mengapa WNI enggan berurusan langsung dengan birokrasi Indonesia, terutama kepolisian? Kalau bukan sebab kendala waktu dan tempat, jika pernah melakukan tindak kriminal, bukankah fungsi SKCK untuk memberi catatan pernah/ tidaknya seseorang melakukan tindak kriminal? Kalaupun sudah pernah menjalani hukuman, bukankah ia berhak membuka lembar baru kehidupan?
Kedua, jika keberadaan kami selaku penggiat advokasi pelayanan publik dianggap remeh, lalu apa acuan pelayanan publik kepolisian? Bukankah UU kedudukannya paling tinggi? Jika memang menurut info oknum petugas loket ada Peraturan Kapolri soal larangan keberadaan kami, bisakah pegawai layanan masyarakat menjelaskan/ menunjukkan bukti keberadaan Perkap tersebut? Jika Perkap malah mempersulit WNI, bukankah Perkap justru bertentangan dengan UU?
Ketiga, menurut info petugas loket WNI tidak boleh diwakilkan kecuali oleh keluarga satu KK (Kartu Keluarga) dengan surat kuasa padahal prakteknya pengambilan oleh para wakil pemohon yang dikuasakan tidak diperiksa KK-nya, sementara itu Orang Asing banyak yang diwakilkan perusahaan tempat mereka kerja dan tidak membayar untuk mendapatkan SKJ/STM (Surat Keterangan Jalan/ Surat Tanda Melapor) saat mereka masuk ke wilayah NKRI. Bukankah hal ini memberi indikasi bahwa WNI kehilangan hak untuk dilayani, baik langsung atapun diwakilkan. Pada saat bersamaan WNA bebas keluar masuk tanpa biaya di loket layanan kepolisian masyarakat (entah kalaupun ada kesepakatan tersembunyi antara pihak perusahaan dengan kepolisian, mudah-mudahan tak ada).
Keempat, tuduhan kami sebagai calo jelas tidak berdasar, sebab kami lembaga yang dalam pergerakannya ada divisi advokasi dan selalu mengikuti prosedur yang berlaku dan persyaratan yang ada. Tidak ada paksaan terhadap klien, tidak ada kebohongan mengenai biaya resmi dari instansi terkait ( terlebih dengan akses informasi semua orang juga sudah paham mengenai biaya resmi), tujuan saling bantu membantu. Sungguh wajar bila klien pengguna membayar lebih, karena kami bukan pemerintah atau pihak kepolisian yang digaji dari uang pajak rakyat. Jangan dikira kami tidak bermodal: biaya transportasi, komunikasi, kantor, listrik, ongkos kirim ke luar negeri, prosperiti, dokumentasi dan donasi. Faktor resiko klien yang tak bertanggung jawab, sudah diuruskan SKCK ternyata tak membayar juga patut dipertimbangkan.
Pelayanan publik adalah pintu gerbang sekaligus penjaga kewibawaan NKRI. Jadi program OPP dan ketidaksediaan kami untuk mebayar lebih dari permintaan oknum petugas tidak dijadikan alasan untuk mendiskriminasi dan mempersulit klien pemohon kami untuk mendapatkan haknya karena itu melanggar UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.