Setiap kisah romansa yang abadi pastilah ada bumbu konflik didalamnya. Romeo & Juliet salah satu yang jadi patokan sebuah kisah asmara. Walau cerita itu fiktif. Ada perebutan cinta. Adu cinta antara cinta keluarga dan cinta pada kekasih. Jadi mari bahasakan konflik dengan kata ‘adu cinta’ saja. Sebab terdengar lebih rasional daripada sekedar konflik yang terkesan rusuh, tak punya tujuan, mulai dari kasak kusuk adu mulut, adu fisik sampai adu strategi. Ya.. adu cinta ini masih berlaku hingga kini. Bahkan lepas dari ranah pribadi menuju ranah publik. Rebut-rebutan harta, tahta dan wanita adalah bukti bahwa manusia ini memang menuhankan cinta, maka adu cinta hadir setiap hari dalam perjalanan hidupnya.
1 Juni, Hari Kesaktian Pancasila. Hari dimana Pancasila menjadi berhala orang Indonesia. Bahwa kelima prinsip dasar bernegara harus dipatuhi, kalau tidak suka, konsekuensinya silakan pilih: pergi ke luar negeri atau diasingkan. Kesaktian Pancasila ini merajai pola pikir orang Indonesia, bahwa kalau tidak mengikuti aturan dasar, bukanlah orang Indonesia.
Adu Cinta Versi Bernegara
Lalu seperti apakah ‘adu cinta versi bernegara’ jika bukan seperti kisah Romeo & Juliet di ranah privat? Baru-baru ini amat ramai orang mempermasalahkan keyakinan orang.
Pertama, wacana permintaan maaf Presiden Jokowi soal peristiwa G30S/PKI. Orang Indonesia yang tak baca riset hasil karya Benedict Anderson Cornell Paper atau Makalah Cornell, yaitu risalah pertama yang meragukan versi Soeharto terhadap peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI itu, mempermasalahkan sikap Jokowi. Seolah permintaan maaf ini adalah bentuk pembolehan pada paham komunis. Apalagi kemudian, muncul kaos palu arit yang jadi heboh, pembuktian bahwa wacana permintaan maaf itu memicu kemunculan kembali paham komunis.
Kedua, ribuan warga pilih pengosongan kolom agama di Bekasi. Pada sila satu Pancasila, sudah jelas bahwa negara ini berlandaskan pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka pengosongan kolom agama ini dianggap tak sesuai dengan landasan bernegara. Ketakutan akan adanya kaum atheis di tanah air Indonesia melebihi ketakutan pada kekerasan yang bisa jadi dilakukan oleh mereka-mereka yang isi kolom agama dengan agama yang diakui negara.
Versus Beragama
Kolom agama dalam soal administrasi merambah pada soal bagaimana perilaku terhadap orang si empunya kartu identitas tersebut. Ya, karena tidak semua orang mau paham bahwa tidak semua orang beragama yang diakui negara. Pun tidak semua orang punya kecintaan atau punya ritual yang dijalankan sebagai orang beragama. Adu cinta negara dengan beragama menjadi sulit di ranah publik. Mengapa? Perbedaan yang ada tidak menjadi satu. Orang Indonesia menjadi terbutakan oleh label. Bahwa kolom agama sebagai sebuah label, harus dilekatkan pada orang supaya mereka tahu bagaimana harus memperlakukan orang tersebut. Contoh gampangnya, kalau kolom agamanya diisi Islam, pastilah diajak sholat atau jangan ditawari makan saat bulan Ramadhan. Padahal, belum tentu dia Islam secara kaffah yang menjalankan perintah-perintah dalam agama Islam. Sebaliknya, kalau kolom agamanya kosong, so pasti dia itu tak beragama jadi patut diwaspadai. NU baru-baru ini mewacanakan Islam Nusantara. Jadi di kolom agama perlu ditulis ‘Islam Nusantara’? Sementara penganut kepercayaan agama leluhur tak perlu cantum-cantumkan nama kepercayaan mereka?
Versus Cinta Personal
Label paham atau agama menghilangkan identitas seseorang. Orang tidak dilihat sebagai seorang personal. Seolah-olah, bernegara menjadi sebuah budaya. Bernegara bukan sekedar soal ranah publik yang atur urusan warga negara. Bernegara meluas maknanya menjadi bagaimana seseorang harus diperlakukan karena identitas personalnya. Padahal, sebagai warga negara Indonesia, bisa jadi seseorang dalam kehidupannya tak beri garis tegas antara bernegara, beragama dan beridentitas. Semua melebur menjadi satu atau bahkan tak ada sama sekali. Inilah hal paling membingungkan hidup di Indonesia. Walau wacana ‘Islam Nusantara’ dianggap solusi bagi kalangan tertentu, pada dasarnya setiap orang punya pilihan sendiri untuk apa, bagaimana dan menjadi siapa pada setiap kesempatan yang berbeda. Maka lawan dan kawan dalam pergaulan sosial bisa berganti-ganti personel sewaktu-waktu. Tergantung dari apa dan mengapa pergaulan itu diciptakan.
Mengapakah kita tak mengenal satu saja? Bahwa orang Indonesia yang hidup di tanah air Indonesia, mengaku bangsa Indonesia yang tinggal di negara manapun, punya prinsip Pancasila yang mengakui agama dan kepercayaan. Bahwa sebuah kolom dalam selembar kartu identitas tidaklah hitam putih sebagai penentu siapa dirinya. Maka tidak perlulah memperlakukan orang diskriminatif atau beri stigma negatif hanya karena sebuah kolom agama. Kalau mau kosong, silakan. Mau diisi ‘atheis’, silakan. Toh, diisi agama tertentu juga bukan jaminan seseorang itu penganut yang baik. Boleh jadi ia penganut yang jahat yang malah penganut kekerasan.
Cintailah orang Indonesia lainnya sebagaimana cinta personal orang muda. Cinta yang tak mengenal label kenegaraan ataupun kolom administratif. Apalagi saat ini, e-KTP keluaran tahun 2011 berlaku seumur hidup dengan cetakan data yang sama. Bagaimana kalau dalam perjalanan hidup, seseorang berubah agamanya? Di luar negeri, soal kolom agama tak jadi isu. Sebab memang tak ada kolom agama dalam kartu identitas mereka. Mudah-mudahan cinta personal yang tulus antar warga negara-lah yang menjadikan negeri ini aman, damai, sentosa selalu. Takkan ada lagi orang tua pacar menahan KTP kalau mau malam mingguan, misalnya. Perlakukan saja orang atas dasar siapa dirimu. Bukan atas dasar siapa orang itu. Kalau kita merasa penting, perlakukan orang lain sepenting-pentingnya tanpa perlu lihat KTPnya atau gambar kaosnya dulu. (ratih karnelia)