Rencana Absurd: Sendirian Protect Anak Dari Orientasi Seksual (Dianggap) Menyimpang

Jikalau anak tertimpa musibah terkecil, misalnya balita jatuh dari tempat tidur, orang tua yang baik pastilah menyesal mengapa tak jaga si kecil dengan lebih baik. Sederet pertanyaan mengapa lainnya. Namun musibah bukan untuk disesali atau dipertanyakan. Hanya ada dua sikap: memaafkan dan melanjutkan hidup. Sebelum bisa memaafkan, takkan bisa melanjutkan hidup. Terutama berusaha memaafkan diri sendiri. Sebab banyak sekali orang tua yang begitu dalam penyesalannya, murung tak bisa let it go hingga tak bisa move on kehidupannya.

 

Kalau cuma jatuh dari tempat tidur saja sebegitu dipikirkan, bagaimana kelak jika anak itu tumbuh berkembang? Ia akan bertemu berbagai macam orang dengan segala pengaruhnya. Ia akan mengalami berbagai macam hal karena pada dasarnya setiap orang tidaklah steril dari pengaruh lingkungan yang akan membentuk jati diri seseorang. Semenjak isu LGBT (Lu Gue BT,  Bad Temper/ Bad Trip/ Bad Thinking) merebak ditambah dengan SJ diduga melakukan pelecehan hingga dibahas ILC (Indonesia Lawyers Club) seolah penting bagi bangsa negara. Sebabnya, LGBT menyenggol ranah publik dan SJ sebagai publik figur. Tentu para orang tua makin deg-deg plas melepas anak-anaknya ke kehidupan nyata. Dibuatlah serangkaian rencana rancangan pendidikan yang sesuai bagi anak, dengan harapan menjauhkan anak dari bahaya orientasi seksual yang (dianggap) menyimpang.

Namun, tak pernah ada yang tahu pasti apa dan mengapa. Walau penjelasan psikolog jelas, perilaku menyimpang disebabkan peran ayah atau ibu yang tidak ada atau tidak pada tempatnya; kekerasan sejak kecil; sakit jiwa; pengaruh media yang berisi pornografi; salah asuh; kurang pendidikan agama. Tapi tak pernah ada yang beri penjelasan, momen apa yang menggerakkan seseorang mengambil keputusan untuk menjadi. Sebab manusia bukan robot, bukan juga boneka. Manusia berjiwa, berpikiran, berperilaku, bukan sekedar dikendalikan oleh tombol-tombol. Percikan waktu apakah yang menyebabkan seorang manusia itu menjadi seolah-olah lepas kendali? Lalu mengapa peran orang tua dan pendidikan agama selalu menjadi kambing hitam atas perilaku-perilaku yang tak diinginkan oleh masyarakat?   

Selama saya mengenal LGBT, selama itu pula pertanyaan-pertanyaan itu ada. Maka jawaban dalam tulisan ini baru sekedar opini. Beberapa orang teman yang saya tanyai soal pendidikan apakah yang terbaik? Jawabannya selalu pendidikan dari rumah. Walau itu pertanyaan seputar teroris. Cegah seseorang untuk tidak radikal adalah dengan adanya pendidikan dari rumah yang mengajarkan toleransi atas perbedaan. Demikian salah seorang teman saya ungkap opininya. Nah, apakah pencegahan seseorang punya orientasi LGBT juga sama dengan cegah seseorang untuk jadi teroris? Ya. Semua bermuara pada rumah. Rumah bukan soal bangunan atau sekedar tempat. Rumah bagi anak-anak adalah sebuah rumah tangga yang memberikan keamanan dan kenyamanan. Rumah yang mengisi kekosongan jiwa jika anak-anak punya masalah, punya kesedihan dan kekecewaan. Bagaimana jika jauh dari rumah? Kekosongan jiwa itu diisi dengan keimanan. Keimanan itu diajarkan melalui pendidikan agama. Itupun masih sekedar usaha.  

Satu dari tiga orang gay yang saya kenal, berawal dari keluarga berpendidikan agama baik. Ia sempat menikah dengan perempuan baik dan memiliki seorang anak. Entah mengapa kemudian cinta itu berubah menjadi cinta sesama jenis. Tak pernah ada penjelasan. Tak pernah ada kejelasan. Soal apa, mengapa, dimana, kapan, bagaimana mungkin ia seolah berkhianat pada janji-janji suci sebagai seorang hamba Tuhan, sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah. Bagi perempuan itu, musibah itu seperti balita jatuh dari tempat tidur. Sudah diprotect, masih juga jatuh. Aduh. Namun bagi lelaki itu, menjadi gay bukan seperti jatuh ke bawah. Gay bukan sebuah profesi atau karier yang bisa kentara kecemerlangan atau kemundurannya dengan indikator-indikator materi. Ia tak merasa perlu menjelaskan mengapa ia menjadi gay. Pikirnya itu panggilan jiwa. Jati diri bukan pekerjaan. Sebab jati diri membuat seseorang percaya diri, menjadi lengkap sebagai seorang manusia. Sementara pekerjaan, hanyalah deretan alasan sebagai alat untuk bertahan hidup. Misalnya, seorang ibu tetap saja ibu walau bekerja sebagai guru, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, pegawai swasta, tukang ojeg, tukang jamu, tukang pijat dan lainnya. Ia akan selalu kembali ke rumah untuk bertemu buah hati. Pekerjaan hanyalah alasan baginya supaya bisa menjadi ibu yang baik, bisa merawat, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dengan beragam fasilitas.

Demikian juga bagi seorang gay yang sudah coming out. Menurutnya flash back ke masa lalu tak lagi ada gunanya sebab jati diri sudah terbentuk dari proses tahunan yang tak pernah seorang pun mau dan tahu pasti mengapa. “Itu takdir”, kata kenalan gay saya lainnya.

Maka, setiap orang tua yang menganggap LGBT adalah perilaku menyimpang perlu menyadari bahwa ia tak bisa sendirian mendidik anak-anaknya. Ia perlu juga lingkungan pertemanan (rumah dan sekolah) serta pertetanggaan yang baik. Selamatkan satu orang, selamatkan satu masyarakat. Bersama kita bisa! Sementara, bagi pihak orang tua Pro LGBT yang menganggap itu adalah perilaku fitrah yang sudah bersemayam dalam jiwa maka perlu mendidik anak untuk tidak mempengaruhi orang lain untuk menjadi seperti dirinya dengan alasan jatuh cinta. Bila tidak dianggap menyimpang karena menulari maka Mencintailah hanya kepada komunitasnya saja, Jangan merayu Outsider, Please!!!  (ratih karnelia)

[TheChamp-FB-Comments style="background-color:#fff;"]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *